Suasana kelas hari ini begitu santai, namun serius. Kami semua memusatkan perhatian kami kepada kepala sekolah yang tengah menjawab pertanyaan seorang teman kami tentang kehidupan. Sebentar lagi kami tamat SMA, kelas hari ini merupakan salah satu kelas terakhir sebelum kami terjun dalam masyarakat.
"Ada pertanyaan lain?" tanya kepala sekolah setelah selesai menjawab. "Bapak harap kalian masih punya pertanyaan berbobot."
Murid teladan, murid berkacamata dengan alis tebal, mengacungkan tangannya ke atas. Kepala sekolah memberi isyrat tangan menyuruhnya berdiri.
"Kenapa ketika kita mau melakukan sesuatu, kita terlalu banyak memikirkannya sehingga terakhir tidak jadi melakukannya?"
"Pertanyaan bagus!"
Sementara murid teladan kembali duduk, kepala sekolah meraih sebuah botol air plastik milik teman kami yang duduk di bangku paling depan. Tidak ada yang special pada botol itu. Bening dan setengah berisi air.
"Berapa berat air dalam botol ini?"
Kami semua terbengong. Pertanyaan macam apa itu? Tetapi berbondong-bondong teman-temanku mulai menjawab.
"100 gram!"
"500 gram!"
"Tak mungkin 500 gram! 200 gram!"
"Tak ada apa-apanya. Ringan saja, Pak!"
Dan sederet jawaban lain pun terdengar konyol sekali. Aku tertawa terbahak-bahak selama sesi jawab itu.
Kepala sekolah menelunjukkan satu jari, membuat kami diam untuk memperhatikannya. "Kita tidak akan tahu sampai kita menimbangnya, bukan?"
Sebagian besar murid langsung ricuh dan tertawa terbahak-bahak akan kebodohan mereka sendiri. Namun beberapa terdiam, seperti sadar akan sesuatu. Diriku tidak masuk di antara keduanya, terlalu naif untuk mengerti apalagi menertawakan diri sendiri.
"Jadi kenapa kau harus takut melakukan sesuatu hal padahal kau belum tahu seberapa besar kesulitannya?" Pertanyaan kepala sekolah seketika membuka pikiranku. "Anggap yang ingin kau lakukan adalah mengangkat botol minum ini, tetapi karena berpikiran macam-macam seperti botol ini mungkin beratnya 5 kg, atau mungkin 1 ton atau juga 2 ton dan lain sebagainya, terakhir kau tidak jadi mengangkat botol minum ini. Kau belum tahu berat botol air minum ini, jadi kenapa kau membiarkan dirimu terpengaruh pada hal-hal yang belum tentu benar? Apalagi itu datang dari pikiran dan komentar orang-orang yang belum pernah mengangkat botol minum ini. Coba pikirkan."
Penjelasan kepala sekolah yang sederhana membuat seluruh kelas terhening. Murid-murid terdiam. Satu per satu mengerti maksudnya, mengangguk atau sekedar tertunduk menatap meja.
"Bagaimana kalau yang kita pikirkan itu benar?" Murid teladan kembali bertanya. "Bukankah karena ada resiko makanya kita takut?"
"Semua yang kita lakukan ada resiko," jawab kepala sekolah sambil mengelus dagu. "Kita hanya bisa memprediksi, tetapi beranilah mencoba."
"Aku tidak setuju," cela murid teladan lagi. "Aku baru melakukan sesuatu hal kalau aku yakin bisa melakukannya."
Kepala sekolah melempar senyum padanya. "Kau bisa bersepeda?"
"Aku bisa, Pak."
"Apa kau langsung bisa bersepeda sekali coba?"
"Aku jatuh berkali-kali baru bisa bersepeda,"
"Apakah kau dulu yakin bisa bersepeda baru bersepeda?"
"Itu..." Murid teladan tidak berani berkomentar. Dia harus mengakui bahwa dia pun dulu tidak yakin bisa bersepeda. Karena terus mencoba, barulah dia bisa bersepeda.
"Beranilah mencoba, tetapi jangan hal yang buruk." Kepala sekolah melihat kami semua dengan alis terangkat cepat. "Jangan tiba-tiba bapak dengar kalian mencoba merokok atau narkoba, itu tidak boleh. Itu artinya kalian cari mati!"
Kami tertawa, tentu saja kami akan mencoba hal yang baik. Berselang jam pulang berdering. Aku merasa berat hati harus pulang padahal jam pelajaran terakhir begitu menarik. Tak mengapa, aku mendapat pelajaran berharga dan mulai berani mencoba.
"Beranilah mencoba"
-Anonymously
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
Fiksi UmumDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...