"Coba lihat perempuan itu?"
Aku memalingkan pandangan mengikuti arah telunjuk jari sahabat karibku, Bagas, ke ujung ruangan. Dari sekian banyak peserta seminar kampus, seorang gadis berpostur pendek dengan kulit putih dan rambut kuncir warna hitam menarik perhatianku. Mata bulat besarnya begitu fokus menatap layar ponsel.
"Ya?"
"Jangan pura-pura bodoh, Irvin. Kau tahu apa maksudku," tukas Bagas, memukul pundakku.
"Dia cantik, bukan?"
"Aku setuju."
"Cuma itu?"
"Tentu." Aku mengangkat bahu. "Kalau kau mau meminta nomornya, kau harus melakukannya sendiri."
"Aduh, tolong bantu aku sekali ini saja."
"Yang terakhir kali kau juga bilang begitu."
"Itu... perkara lain."
"Bagas, Bagas." Aku menggeleng kepala. "Kapan kau mau mencoba berani? Dulu pun aku sering ditolak sampai sudah merasa biasa."
"Entahlah. Aku tidak percaya diri saja."
Memang tak mudah. Kepercayaan diriku saja perlu ditempa sejak sekolah dulu dan sekarang aku sudah bisa berbicara dengan siapapun asal aku mau. Kudorong Bagas melakukannya agar dia punya keberanian itu.
"Namanya Nasya," ujarku pelan. "Saranku sih jangan berhubungan dengannya."
Mata Bagas terbelalak. "Kau kenal dia?"
"Cuma sebentar. Kami pernah satu kelompok pas kegiatan ospek dulu."
"Kenapa jangan berhubungan dengannya?"
"Dia terus melihat ponsel, kalau pun menatap kita nanti, matanya entah melihat ke mana-mana seperti fokus pada hal lain. Kita kayak ngak penting gitu."
Bagas terdiam. Dia tahu kalau aku paling tidak suka diabaikan pas berbicara.
"Aku tetap mau mencoba." Bagas mengkatupkan kedua tangan sambil menunduk ke arahku.
Pose memohon kepada dewa. "Tolong minta nomornya untukku."
"Kalau saja kau bisa bertekad dan meminta nomornya sendiri," kataku, menghela napas. Aku beranjak dari tempat duduk. "Bayarannya satu bungkus nasi ayam."
"Setuju!"
Aku berjalan santai menghampiri Nasya. Sekeliling mata lelaki menatapku penuh kejut dibarengi rasa cemburu bercampur benci bagai para pemangsa hendak menerkam sang mangsa. Bukan urusanku. Mangsaku sekarang adalah Nasya. Gadis tersebut mengangkat wajah pas bayanganku menaunginya dan melihat penuh tanda tanya. Dirinya tampak lugu serta imut.
"Nasya."
"Ya?" Nasya menjawab agak ragu. "Irvin, bukan?"
"Aku tersanjung kau masih ingat namaku."
Nasya tertawa kecil. "Aku tidak lupa nama ketua yang menggiringku juara tiga lomba makan pas kegiatan ospek."
"Walau aku yakin itu berkata usahamu sendiri."
"Usaha kita." Nasya menatap ponselnya sebentar sebelum memandangku kembali. "Jadi, ada apa?"
"Minta nomormu."
Gadis berpipi lesung di hadapanku tertegun. Mulutnya membuka sebentar hendak mengutarakan sesuatu namun tidak ada kata-kata yang keluar.
"Lebih tepatnya temanku yang minta."
Matanya kembali tertunduk melihat ponsel. Kali ini agak lama sebelum memandangku lagi. Itu pun bola matanya melihat ke kiri kanan. Entah takut diperhatikan atau ketahuan oleh seseorang, lehernya terangkat dan dia memandang ke belakang serta sekelilingku. Hal ini bakal dilakukannya sepanjang pembicaraan.
Aku kurang suka sikapnya ini. Langsung saja aku mengambil ponsel dari saku baju, membuka aplikasi kontak, dan mengotak-atik ponsel sampai muncul deretan angka sebelum menyodorkannya pada Nasya.
"Itu temanku." Jempolku menunjuk deretan bangku belakang dekat pintu utama. "Laki-laki bongsor, berambut landak, dan berbaju biru tua."
Bagas tersenyum lebar saat Nasya menemukannya. Dia tiba-tiba menatap ponsel lalu menatapku lagi, lebih tepatnya orang-orang di belakangku, dan menelunjukkan jari menekan tombol-tombol angka pada ponselku.
"Jangan berharap banyak yah," ujar Nasya pas selesai memberikan nomornya.
Aku pura-pura senyum. "Berikan sedikit kesempatan."
"Akan kucoba."
"Terima kasih."
Aku kembali kepada Bagas. Dia menantikanku penuh riang padahal aku tahu bakal gimana jadinya. Tak apa. Aku hanya membantu teman, tapi aku tidak mau lagi berurusan dengan Nasya.
Ketika berbicara dengan seseorang harusnya fokus, bukannya menatap ponsel maupun melihat ke kiri kanan seperti aku tidak ada. Itu dasar bertatap karma.
Saat berbicara dengan seseorang, fokuslah berbicara
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...