"Pak, ada penggaris tembus pandang?"
Aku, sedang menonton televisi di ruang tamu yang menyambung ke depan toko, menoleh ke samping. Seorang remaja laki-laki melambaikan tangan sambil tersenyum kepadaku.
"Ho, Alan!" seruku gembira, buru-buru bangkit dari tempat dudukku. "Gimana kabarmu?"
"Baik. Bapak sendiri?"
Aku memakai sandalku. "Bapak baik. Kenapa sudah lama tak kelihatan?"
"Ada wisata sekolah selama dua minggu, dan aku jadi panitia sehingga sibuk setiap hari."
"Hahaha, kau memang anak rajin," pujiku, berjalan santai menghampiri Alan yang mulai antusias melihat barang-barnag daganganku . "Jadi, apa yang mau kau beli?"
"Satu penggaris tembus pandang."
Aku berpikir sejenak. Akhir-akhir ini penggaris tersebut banyak yang beli, namun entah kenapa aku lupa meletakkannya di mana. Aku mengecek lemari-lemari kaca, tetapi yang kutemukan hanya kertas-kertas portofolio, penghapus, dan alat-alat tulis lainnya. Lalu meja, cuma kumpulan kertas HVS. Setelah itu laci-laci meja yang dipenuhi beragam jenis plastik.
"Aneh, tak pernah aku sepikun ini," gumamku, baru sadar otakku sudah kurang berfungsi padahal belum berumur 60 tahun.
"Kayaknya itu, Pak."
Alan menunjuk televisiku. Awalnya kupikir apa, rupanya ada sebuah plastik panjang di atas televisi. Ketika kuperiksa adalah setumpuk penggaris tembus pandang. Penggaris itu memiliki panjang 20 cm dengan angka-angka serta garis-garis menghiasi tepinya. Untung saja ketemu.
"Harganya Rp 2.000," kataku, memberikan satu penggaris tembus pandang pada Alan.
Alan menyerahkan secarik kertas berwarna hijau bergambar seorang laki-laki berpeci. Laki-laki itu adalah pegawai pemerintah yang berjasa zaman dulu sekali. Aku ingat sekali wajahnya, tapi lupa namanya. Lalu Alan pamit pulang.
"Kayaknya aku harus cepat tidur agar lebih konsentrasi," gumamku seraya kembali menduduki kursi dan menonton televisi.
Baru saja beberapa menit aku menonton, ada yang memanggilku. Aku menoleh, agak terkejut karena orang itu adalah Alan. Tangannya memegang sebuah penggaris tembus pandang. Tentu saja itu penggaris yang dibelinya, jadi kenapa dia kembali lagi?
"Ada apa, Alan?" tanyaku heran
"Ini." Alan menyerahkan penggaris tembus pandangnya kepadaku. "Bapak memberiku ekstra satu tanpa sengaja."
"Huh?" Aku spontan kebingungan. "Maksudmu aku memberimu dua penggaris?"
"Ya, jadi kukembalikan satu."
Aku menerima penggaris tadi dengan perasaan kagum. Baru kali ini ada anak yang sangat jujur, kalau orang lain mungkin sudah mengambilnya. Aku suka anak ini! Sungguh generasi langka! Tanpa sadar aku menepuk pundaknya berkali-kali.
"Aduh. Sakit, Pak," ujar Alan, mengerang kesakitan.
"Ah, maaf-maaf!" seruku langsung. Kurasa aku terlalu berlebihan. "Baiklah. Terima kasih, Nak."
Alan pun kembali berlalu. Sementara aku merenungi perbuatan Alan yang sungguh membuatku terpana. Remaja itu, benar-benar remaja hebat. Sebagai imbalan, akan kuceritakan kejadian ini sehingga orang-orang pun tahu Alan adalah anak remaja yang bisa dipercaya.
"If you want to be trusted, be honest."
-Anonymously
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...