"Di sini, William!"
Seorang lelaki berbaju putih, bersandar pada sebuah mobil mewah, terlihat melambaikan tangan kanannya ke arahku. Aku menyunggingkan senyum. Rupanya sang dokter yang menjemputku, kupikir siapa sampai harus dirahasiakan oleh teman-teman reuni. Padahal aku sudah sering naik mobilnya.
"Gimana kabarmu, Bud? Sehat?" tanyaku, menyambut jabat tangan sang dokter.
"Kau menanyakan pada orang yang salah, William." Budi tergelak. "Aku dokter. Tentu saja aku sehat!"
"Apa kau yakin?" Aku tersenyum sinis, menandakan maksud tertentu. "Kau kan suka anggur."
Budi geleng-geleng kepala sambil membuka pintu mobil. "Hahaha, aku minum seperlunya saja, William. Ayo masuk."
Aku berlari ke pintu satunya. Sebelum masuk, aku menemukan beberapa gadis muda di pinggir jalan sedang menatap mobil mewah Budi. Mereka terpana. Mobil Budi memang keluaran terbaru, memiliki bentuk keren seperti mobil-mobil di layar lebar dan harganya cukup fantastis. Aku merasa biasa saja, karena mobil keren ini tetap saja sebuah 'mobil'.
Pandangan gadis-gadis itu kemudian beralih dari bodi mobil kepada si pengemudi. Mata mereka melebar kaget, bercampur kagum, memandang pria berambut mohwak pendek yang memiliki postur padat serta jangkung. Apalagi mengetahui pria tersebut adalah seorang dokter dari pakaian putih dengan sebuah stetoskop menggantung di lehernya, para gadis sontak menggeleng kepala sambil mengelus dada. Aku tahu isi kepala mereka, tetapi entah kenapa William sampai sekarang belum berniat berpacaran.
Menumpang mobil Budi adalah sebuah keberuntungan. Dalam hitungan menit kami telah menempuh beberapa kilometer walau tempat tujuan masih terbilang jauh. Perihal kejadian tadi, rasa penasaran masih menghantuiku. Kenapa Budi masih menjomblo? Kehidupannya sudah lengkap, kapan lagi? Apa alasannya? Sederet pertanyaan semacam itu terus bermunculan. Terakhir aku memberanikan diri menanyai Budi.
"Hei, Bud," panggilku, menoleh kepada Budi. "Boleh aku tanya sesuatu?"
"Tentu saja. Jangan sungkan."
"Begini, kenapa kau masih sendiri?"
Keheningan pun tercipta. Menit-menit berlalu tanpa ada jawaban dari Budi yang terfokus menatap jalan di depan. Bodohnya aku, kenapa menanyakan isu yang amat fatal? Aku sendiri masih jomblo, tahu apa aku ini.
"Kau belum dengar?"
Aku keheranan. "Dengar apa?"
"Oh, kamu belum tahu." Budi mengangguk kepala. "Dulu waktu aku tidak punya apa-apa, para gadis menolakku. Jadi, aku sangat pilih-pilih perempuan dan belum ada yang cocok."
"Yang benar cuma itu alasannya?"
"Ya. Itu saja," jawab Budi sambil lalu.
Aku ingat sekarang. Memang benar kalau Budi itu dulu sangat miskin, sangkin miskinnya dia harus membuat surat miskin agar pihak sekolah memberinya keringanan biaya. Kedua orang tuanya sakit-sakitan, jadi dia melakukan berbagai macam kerja sambilan untuk menyambung hidup. Meski begitu, nilainya selalu bagus-bagus serta berhasil masuk kedokteran.
Mengenai pasangan, sungguh menyakitkan, Budi ditolak mentah-mentah tiga gadis pilihannya. Oleh sebab kemiskinan, dua gadis menolaknya semasa SMA. Gadis terakhir menolaknya di masa kuliah. Awalnya gadis itu menerimanya, namun begitu tahu Budi bukan dari keluarga berada, dia segera memutuskannya. Tiga kali patah hati membuat Budi trauma rupanya. Harus kuakui, bukan salahnya.
"Perempuan itu cuma lihat uang, William." Budi tiba-tiba membuka pembicaraan. "Waktu aku sudah jadi dokter berpenghasilan tinggi, semua gadis melirikku. Langsung bilang iya jika aku ajak keluar walau baru pertama kali ketemu."
"Enak yah," kataku, agak iri.
"Tidak, William. Aku waspada dan mati-matian mencari gadis yang mau berjuang bersamaku."
Aku mencondongkan badan ke arah Budi. "Hah? Bagaimana mungkin?"
"Berpura-pura menjadi orang miskin," jawab Budi. "Aku mencoba mendekati mereka sebagai laki-laki yang masih berjuang mencari nafkah, tetapi mereka masih menolak."
"Yang ampun."
"Gadis-gadis zaman sekarang ini maunya enak-enak semua, William. Mereka maunya pria kaya, tetapi tidak tahu atau mungkin tidak peduli kalau uang itu punya orangtua mereka, meski pria itu bodoh atau tidak kompeten." William berdecak keras. "Terakhir mereka akan sering dipukul, dimaki, bahkan dimarahi pria tersebut lalu bilang semua pria sama saja. Siapa yang salah sebenarnya?"
Aku terdiam seribu bahasa. Tak perlu kujawab karena sudah jelas jawabannya.
"Siapa laki-laki berumur awal dua puluhan punya mobil mewah, usaha besar, atau rumah harga ratusan juta rupiah kalau bukan dari orangtua mereka?" Nada William menaik. "Kerja saja belum, sudah punya ini itu. Gadis-gadis yang tertarik pada pria begitu hanya gadis-gadis murahan yang kerjanya cuma dandan, hura-hura, dan malas-malasan."
Aku menelan ludah. Tidak berani berargumen sebab benar adanya.
"Yah, tidak semua begitu sih. Rata-rata," lanjut William, nada suaranya sudah kembali normal. "Maaf, jadi curhat. Aku cuma geram saja."
"Kita berada di perahu yang sama, Bud. Aku ngerti," kataku pelan dengan perasaan gundah. "Lakukan saja sebisa kita."
"Hahaha, kau benar."
"Mencari uang itu tidak mudah. Hargailah proses mencari uang, bukan menjadi budak uang."
-Widdy, Author of Cerita Bijaksana
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...