Pulang Kampung

1K 11 14
                                    

"Maaf, bu. Aku tak bisa pulang tahun baru ini," kataku sembari memasuki ruang kerjaku.

"Ayolah, nak. Ayahmu sangat merindukanmu," jawab ibuku di sebelah sana. "Akan ibu buatkan makanan kesukaanmu."

"Ini bukan masalah makanan, bu. Aku benar-benar sibuk, ada laporan tahunan yang harus dibereskan."

Ibuku membalas sedih, "Begitu... Baiklah. Jangan kerja terlalu malam, nak."

"Ya, bu," jawabku singkat lalu mematikan ponsel.

Tepat ketika aku menaruh ponsel ke dalam kantong celanaku, Jared mendadak masuk dengan tumpukan berkas dalam pelukannya. Berkas-berkas itu diletakkan di atas meja sementara aku hanya bisa mendesah melihatnya. Akhir tahun ini akan sama sibuknya dengan tahun lalu. Terkadang aku berpikir apakah aku bekerja terlalu berlebihan.

"Siapa yang menelepon?" tanya Jared, seorang pria tampan jangkung berambut hitam dalam setelan jas warna biru tua.

Aku mengangkat bahu. "Ibuku."

"Kau takkan pulang lagi tahun ini?"

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Apalagi yang bisa kulakukan."

"Kau tahu, sudah tiga tahun kau belum pulang kampung," kata Jared. "Setidaknya kau perlu pulang sekali. Melepas rindu bersama keluarga besarmu."

Dahiku mengernyit. "Sejak kapan kau prihatin seperti ini, Jared?"

"Aku khawatir padamu, kawan. Kau terus bekerja tanpa pernah istirahat," tutur Jared tatkala mendudukkan diri di salah satu kursi dari dua kursi di depan mejaku. "Serahkan tugas-tugasmu padaku jadi kau bisa pulang ke rumah."

Aku terdiam, berpikir sejenak. Memang kendalaku terkait pekerjaan, namun menyerahkan semuanya pada Jared akan sangat merepotkannya. Sebagai asistenku, Jared punya keterbatasan. Tetapi apakah aku punya? Sekarang aku meragukan diriku.

"Orangtuaku pergi ke luar negeri tahun ini. Pulang pun kami tak bisa berkumpul," lanjut Jared, memaksakan senyum.

"Hm... kau yakin bisa melakukan tugas-tugasku sendirian?" tanyaku sangsi, walau hati kecilku sedikit senang atas tawarannya.

Jared berdeham keras. "Jika Mira ikut membantuku, aku yakin semuanya baik-baik saja."

"Rupanya kau mengincar sekretarisku." Senyum nyengir tersungging di bibirku. "Aku bisa mengaturnya."

"Baiklah. Kita sepakat."

"Dan terima kasih," tutupku.

Setelah membuat surat cuti, aku segera menyuruh Mira memesan sebuah tiket pesawat untukku pulang ke Medan besok. Dan aku takkan memberitahu Ibu maupun Ayah supaya mereka terkejut. Selain itu agar aku tidak perlu buru-buru.

Esoknya aku terbang jam delapan pagi. Sendirian namun bahagia. Bandara tadi amat ramai sampai-sampai aku hampir kehilangan koperku akibat terjepit kerumunan orang. Untung saja aku masih sempat membeli oleh-oleh kue manis khas Ibu kota Jakarta di bandara. Kalau tidak, adik-adikku bisa menerkamku.

"Dia tidak pulang lagi, bu?" tanya Ayah, sedang duduk di teras rumah.

"Ya. Katanya sibuk," jawab ibu, membawakan secangkir teh pahit kepada Ayah. "Entah apa kerjaannya, setiap tahun baru tidak bisa pulang."

"Oh... Mirip aku dulu."

"Ayah dan anak sama saja," ketus Ibu. "Aku harap tahun depan dia bisa pulang."

Ayah mengangguk pelan. "Semoga... tapi harapanku adalah tahun ini."

"Sudahlah. Dia bekerja keras demi kita."

Ibu kembali masuk ke rumah, hendak mengambil jaket untuk Ayah. Di saat itu, sebuah becak bermotor berhenti di depan pekarangan rumah. Seorang pria berambut mohawk pendek turun menapaki pijakan becak dengan tangan kiri memegang sebuah koper hitam besar dan kotak bertali di tangan kanannya. Ayah bangkit berdiri, menyipitkan mata untuk melihat tamu yang baru saja datang. Ketika diperhatikan lebih lama, dia mengenal tamu tersebut. Benar-benar seorang tamu istimewa. Kakinya segera melangkah lebar menghampirinya dengan tangan terentang lebar. Bersamaan itu, raut bahagia terpampang jelas di wajahnya.

"Anakku!"

"Ayah!" seruku dan lekas menyambut pelukan hangat yang dapat diberikan tulang-tulang renta Ayahku. "Aku pulang."

"Katamu tak bisa pulang? Apa yang telah terjadi?"

"Hahaha, akan aku ceritakan nanti. Dimana Ibu?"

Baru saja bertanya, Ibu muncul dari dalam rumah. Menjatuhkan jaket Ayah karena terkejut melihatku. Sama seperti Ayah, Ibu berlari menghampiri dan memelukku.

"Akhirnya kau bisa pulang, nak!" seru Ibu berkaca-kaca.

"Ya, bu. Ayo kita rayakan tahun baru ini bersama-sama."

Ibu mengusap air matanya. "Aku akan masak makanan mewah hari ini, termasuk makanan kesukaanmu. Kita akan makan besar."

"Makasih, bu. Lalu, dimana adik-adik?" tanyaku, tidak melihat keberadaan mereka, menyangka kehebohan orangtuaku seharusnya membuat mereka keluar dari rumah. Tentu mereka sedang libur sekolah menjelang tahun baru.

"Sedang membeli sarapan pagi. Mereka pasti senang bertemu denganmu nanti."

"Bagus! Dan aku bawa oleh-oleh."

Kuberikan kotak bertali yang bisa dijinjing layaknya menjinjing keranjang pada ibuku. Isinya kue manis khas Jakarta dan entah kenapa harumnya merebak keluar memasuki hidung kami.

"Harum sekali, nak," ujar ibuku, menutup matanya. "Tapi setelah makan malam baru boleh kita makan."

"Hahaha, Ibu ketat seperti biasa."

"Siapa lagi yang menjaga kalian kalau bukan ibu?" ujar ibuku, lalu berbalik berjalan ke arah rumah.

"Biar kubantu nak." Ayah mengangkat koperku, tetapi sangkin beratnya terangkat sedikit pun tidak. "Apa yang kau bawa? Barbel?"

"Baju-baju dan alat elektronik, Ayah," terangku, kemudian merangkul Ayah dan bersama kami melangkah ke rumah.

Memang pulang kampung rasanya beda. Kenapa selama ini aku tidak kepikiran betapa berharganya menemui orangtua di perayaan tahun baru? Mereka menanti-nantikan aku, aku juga menantikan mereka. Kiranya tahun-tahun ke depan aku akan menyempatkan diri pulang ke rumah. Karena keluarga adalah tempat asalku.


             "Ikatan keluarga itu ibarat sebuah pohon, bisa ditekuk, tapi tak bisa diputuskan."             

                                                                                                             -Pepatah Afrika

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang