Tidak ada yang lebih absurd daripada kehidupan Hongjoong. Sebagai pria mungil dengan semangat seperti petasan, ia biasanya merasa dirinya adalah bintang utama dalam segala situasi. Namun, kenyataan saat ini berkata lain: ia sedang duduk di sofa rumahnya, mengelus perutnya yang membuncit, sementara Mingi—pasangan raksasanya yang memiliki otak seukuran kentang dan hati sebesar lautan—sedang bersenandung sambil memasak sup ayam.
"Mingi," panggil Hongjoong. Suaranya datar, tapi matanya memancarkan kelelahan bercampur keputusasaan.
"Ya, sayang?" jawab Mingi dengan nada ceria, tanpa membalikkan badan.
"Kenapa sup ayam? Aku kan bilang aku ingin es krim stroberi."
Mingi berhenti mengaduk panci, menatap Hongjoong dengan ekspresi bersalah yang terlalu dramatis untuk situasi ini. "Tapi... aku pikir sup lebih sehat untukmu dan... dan bayi kita."
Hongjoong memutar bola matanya. "Oh, jadi sekarang kau ahli gizi, ya? Setelah kemarin kau memaksaku makan pizza dengan nanas dan sosis cokelat?"
"Itu eksperimen rasa," jawab Mingi dengan penuh keyakinan, kembali mengaduk panci seolah-olah hidupnya bergantung pada itu.
Hongjoong mendesah. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mingi. Logika pria itu seperti balon udara—terbang tinggi tanpa arah, tetapi entah bagaimana tetap menarik.
Mereka duduk di meja makan, dengan Mingi menatap Hongjoong seperti anak anjing yang menunggu pujian.
"Bagaimana rasanya?" tanya Mingi dengan antusias, menunjuk sup ayam yang menguarkan aroma jahe dan bawang putih.
Hongjoong mencicipinya dengan skeptis. "Hm. Lumayan."
"Lumayan?" Mingi terdengar kecewa. "Aku menghabiskan tiga jam untuk membuat itu!"
"Tiga jam? Kau yakin? Rasanya seperti kau hanya memanaskan sup instan dan menambahkan air," balas Hongjoong, dengan nada sarkastik yang terlalu familiar bagi Mingi.
Mingi menggaruk kepala, tersenyum lebar. "Kau tahu aku tidak bisa berbohong pada wajah cantikmu, kan?"
Hongjoong mendelik. "Jadi benar, ini sup instan?"
Mingi tertawa, suara beratnya bergema di seluruh ruangan. "Tapi setidaknya aku mencoba!"
Hongjoong tidak bisa menahan senyum, meskipun ia ingin terlihat kesal. "Kau memang bodoh. Tapi sayangnya, kau adalah bodohku."
"Dan kau adalah ratu kecilku," jawab Mingi sambil mengecup kening Hongjoong dengan penuh kasih.
Mereka berdua lalu duduk di sofa, menonton acara TV yang entah bagaimana beralih dari drama ke acara memasak. Hongjoong menyandarkan kepalanya di bahu Mingi, merasa nyaman meskipun pria itu terus-menerus mengubah saluran.
"Mingi, apa kau pernah berpikir kalau hidup kita ini aneh?" tanya Hongjoong tiba-tiba.
Mingi mengerutkan kening, jelas berusaha keras untuk memahami pertanyaan itu. "Aneh bagaimana?"
"Yah, lihat saja kita. Aku ini pria kecil yang sedang hamil, kau pria besar yang terlalu sering salah paham, dan kita tinggal di apartemen ini dengan dekorasi yang lebih buruk daripada selera fesyenmu."
Mingi tertawa kecil. "Aku pikir itu justru membuat kita unik."
Hongjoong mengangkat alis. "Unik? Ini lebih seperti komedi situasi yang gagal."
"Tapi kau menyukaiku, kan?" Mingi menatap Hongjoong dengan mata yang begitu tulus, hingga sulit untuk tidak tersentuh.
Hongjoong menggigit bibirnya, mencoba menahan senyum. "Iya, aku suka kau. Tapi jangan terlalu percaya diri."
Mingi menyeringai. "Terlambat."
Beberapa hari kemudian, Hongjoong menemukan dirinya di rumah sakit untuk pemeriksaan rutin. Ia sedang duduk di kursi ruang tunggu, sementara Mingi sibuk bertanya kepada perawat tentang segala hal—mulai dari proses kelahiran hingga apakah bayi mereka bisa diberi nama seperti pahlawan super.
"Bagaimana kalau kita menamainya 'Thunderstorm'?" usul Mingi dengan penuh semangat.
Perawat itu menatapnya dengan ekspresi bingung, sementara Hongjoong memegang dahinya, merasa malu luar biasa. "Mingi, tolong, kita belum memutuskan apa-apa," gumamnya.
"Tapi 'Thunderstorm' keren, kan? Bayangkan saja, bayi kita tumbuh besar menjadi seseorang yang penuh kekuatan!"
"Bayi kita bukan karakter komik," jawab Hongjoong, mencoba terdengar tegas.
"Tapi aku hanya ingin nama yang berarti," protes Mingi.
Hongjoong mendesah panjang. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita fokus dulu pada kelahiran ini sebelum memikirkan nama?"
Ketika malam tiba, Hongjoong dan Mingi berbaring di tempat tidur mereka yang sempit tetapi nyaman.
"Mingi," kata Hongjoong pelan, memandangi langit-langit.
"Hm?"
"Kadang aku bertanya-tanya... bagaimana kita bisa sampai ke titik ini."
Mingi menoleh, matanya lembut seperti cahaya bulan. "Maksudmu?"
"Ya, kau tahu... semua ini. Kehamilan, tinggal bersama, menjalani hidup yang, jujur saja, kadang terasa seperti mimpi buruk komedi."
Mingi tertawa pelan, menarik Hongjoong ke dalam pelukannya. "Mungkin karena kita saling melengkapi. Kau kecil, aku besar. Kau pintar, aku... mencoba pintar."
Hongjoong tidak bisa menahan tawa. "Coba pintar, ya?"
Mingi mengecup puncak kepala Hongjoong. "Yang penting, kita punya 'you & me.' Dan itu sudah cukup."
Untuk pertama kalinya sepanjang hari, Hongjoong merasa damai.

KAMU SEDANG MEMBACA
MYRTLE 🌸 bottom!Hongjoong [⏯]
Fanfictionbottom!Hongjoong / Hongjoong centric Buku terjemahan ©2018, -halahala_