“Kau yakin mau pergi sendiri, Joongie?” suara Yunho terdengar lembut namun penuh kekhawatiran, menggema di dalam kamar kecil mereka yang sudah berantakan oleh koper setengah penuh dan tumpukan baju.
Hongjoong mengangkat wajahnya dari koper yang sedang ia rapikan, memperlihatkan ekspresi lelah yang bercampur dengan tekad bulat. “Aku harus pergi, Yunho. Ini tentang keluarga. Ibu memintaku datang. Lagipula, aku tidak bisa menghindar selamanya.”
“Tapi kau hamil, Hongjoong. Kau sudah delapan bulan, dan perjalanan sejauh itu…” Yunho menghela napas, mencoba menahan dirinya untuk tidak terdengar memaksa. “Aku hanya khawatir.”
Hongjoong menutup kopernya dengan bunyi klik, lalu berdiri perlahan sambil memegangi perutnya yang besar. “Aku tahu kau khawatir, dan aku menghargainya. Tapi aku baik-baik saja, Yunho. Ini hanya beberapa hari. Aku akan kembali sebelum kau sempat merindukanku.”
Yunho mendekat, menangkup wajah Hongjoong dengan kedua tangannya. Matanya menatap dalam-dalam, seperti mencoba mencari tanda-tanda keraguan dalam diri pasangannya. “Kalau kau merasa tidak enak badan di jalan, atau kalau terjadi sesuatu, kau harus janji akan meneleponku. Janji, Joongie.”
Hongjoong tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan yang samar di sudut matanya. “Aku janji.”
Perjalanan ke kampung halaman Hongjoong terasa panjang dan melelahkan. Jalanan yang sepi di bawah terik matahari musim panas membuat udara di dalam mobil menjadi gerah, meskipun AC menyala penuh. Hongjoong mengusap keringat di dahinya, mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman yang mulai terasa di punggung bawahnya.
Ketika ia akhirnya tiba, rumah tua itu berdiri megah namun suram di tengah ladang bunga matahari yang sudah layu. Cat di dindingnya mulai mengelupas, dan jendela-jendela besar yang dulunya memancarkan kehangatan kini tampak seperti mata-mata kosong yang mengintai.
Hongjoong turun dari mobil dengan susah payah, perutnya yang besar membuat setiap gerakan terasa seperti tantangan. Di beranda, ibunya sudah menunggu, wajahnya pucat namun tetap menyiratkan senyum kecil.
“Kau datang,” kata wanita itu dengan suara parau. “Terima kasih, Nak.”
Hongjoong mengangguk pelan, merasa berat di hatinya. “Kau bilang ini penting, Ibu. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Rumah tua tersebut dipenuhi keheningan yang tidak wajar. Tidak ada suara jangkrik atau angin yang berdesir di antara ladang bunga matahari. Hanya detak jam dinding yang terdengar, menghitung waktu yang berjalan lambat.
Hongjoong duduk di ruang tamu, memandangi secangkir teh yang sudah dingin di tangannya. Rasa lelah dari perjalanan bercampur dengan perasaan tidak nyaman yang tidak bisa ia jelaskan. Perutnya terasa berat, tapi bukan hanya karena bayi yang tumbuh di dalamnya. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak ia mengerti.
“Kau harus tidur,” suara ibunya memecah keheningan. Wanita itu berdiri di ambang pintu, matanya mengamati Hongjoong dengan pandangan yang sulit dibaca. “Besok akan menjadi hari yang panjang.”
Hongjoong mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi pertanyaan. Ia naik ke kamar lamanya di lantai atas, tubuhnya terasa seperti ditarik oleh gravitasi yang lebih kuat dari biasanya.
Pukul tiga dini hari, Hongjoong terbangun oleh rasa sakit yang tajam di perutnya. Ia meringis, memegang perutnya dengan kedua tangan, mencoba bernapas perlahan seperti yang diajarkan Yunho.
Namun, rasa sakit itu tidak mereda. Malahan, semakin kuat, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang mencoba keluar—tidak seperti bayi, tapi sesuatu yang lebih gelap, lebih mengerikan.
Ia mencoba berdiri, namun pandangannya berkunang-kunang. Suara aneh terdengar dari luar kamar, seperti bisikan-bisikan yang tidak jelas asalnya.
“Ibu?” panggilnya dengan suara serak. Tidak ada jawaban.
Hongjoong meraih ponselnya di meja samping tempat tidur, mencoba menghubungi Yunho. Tapi sebelum ia sempat mengetik nomor, pintu kamar terbuka dengan keras.
Ibunya berdiri di sana, wajahnya pucat dan matanya kosong. Di tangannya ada pisau besar yang berkilat di bawah cahaya remang-remang.
“Ibu, apa yang kau lakukan?” suara Hongjoong bergetar, rasa sakit di perutnya kini bercampur dengan ketakutan yang membekukan.
Wanita itu melangkah masuk, wajahnya tidak menunjukkan emosi. “Aku minta maaf, Nak. Tapi ini satu-satunya cara.”
“Cara untuk apa?” Hongjoong berusaha mundur, meskipun tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak jauh.
“Untuk menghentikan kutukan ini,” jawab ibunya dengan suara dingin. “Kau tidak seharusnya hamil, Joongie. Ini bukan anak manusia.”
Hongjoong terdiam, matanya melebar karena ketakutan dan kebingungan. “Apa maksudmu? Ini anakku… anakku dan Yunho!”
“Tidak,” wanita itu mendekat, pisaunya terangkat tinggi. “Bayi ini bukan dari dunia ini. Aku tahu apa yang ayahmu lakukan sebelum dia pergi. Aku tahu kutukan yang ditinggalkannya pada kita. Kalau bayi ini lahir, semuanya akan berakhir.”
“Ibu, hentikan! Ini tidak masuk akal!” Hongjoong memohon, air mata mengalir di pipinya.
Namun sebelum wanita itu sempat melayangkan pisaunya, suara keras terdengar dari luar kamar. Pintu depan rumah terbuka dengan keras, dan suara langkah kaki berat terdengar mendekat.
“Hongjoong!” suara Yunho menggema, penuh kepanikan.
Ibunya berbalik dengan cepat, namun Yunho sudah muncul di ambang pintu. Matanya membelalak melihat pemandangan di depannya—Hongjoong yang terbaring kesakitan di tempat tidur, dan ibu mertuanya yang memegang pisau.
“Apa yang kau lakukan?” Yunho berteriak, melangkah maju tanpa ragu. Ia meraih pisau itu dari tangan wanita tersebut dan melemparkannya ke lantai.
“Kau tidak mengerti,” kata ibu Hongjoong dengan nada putus asa. “Aku hanya mencoba melindungi kalian. Bayi itu bukan manusia. Aku tahu kebenarannya!”
“Cukup!” Yunho berteriak, suaranya menggema di seluruh rumah. Ia berlutut di samping Hongjoong, menggenggam tangannya dengan erat. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Ini anak kami, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya, bahkan kau!”
Wanita itu terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menjatuhkan dirinya ke lantai, menangis tanpa suara.
Yunho segera mengangkat Hongjoong ke dalam pelukannya. “Aku akan membawamu ke rumah sakit. Bertahanlah, Joongie.”
Yunho melaju secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat. Di dalam mobil, ia terus memegangi tangan Hongjoong, berbisik lembut meskipun suaranya gemetar.
“Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu, atau pada bayi kita. Aku janji.”
Hongjoong menatap Yunho dengan mata yang berat, bibirnya membentuk senyuman kecil di tengah rasa sakitnya. “Aku tahu, Yunho. Aku percaya padamu.”

KAMU SEDANG MEMBACA
MYRTLE 🌸 bottom!Hongjoong [⏯]
Fanfictionbottom!Hongjoong / Hongjoong centric Buku terjemahan ©2018, -halahala_