Jung Wooyoung

53 5 0
                                    

Matahari baru saja mengintip malu-malu di balik gedung-gedung tinggi yang seperti gigi rusak, sementara udara kota masih setengah segar, belum tercemar oleh asap knalpot dan keputusasaan para pekerja kantoran. Tapi siapa sangka, uang yang melayang dari kantongnya akan mengubah segalanya.

"Aku bilang apa, Joong?" Wooyoung, si pemuda tampan dengan senyum yang lebih licin dari lantai bioskop selepas film horor remaja, menyandarkan dirinya di pintu apartemen Hongjoong. Rambutnya yang dicat ungu seperti marshmallow basi tampak berantakan, tapi entah bagaimana justru menambah daya tariknya. "Kau tak bisa terus membawa uang tunai di saku celana yang sudah bolong begitu. Apa kau hidup di abad ke-18?"

Hongjoong mendengus sambil menarik uang kertas terakhir dari balik lemari. Sisa uang yang berhasil ia selamatkan. "Abad ke-18 lebih masuk akal daripada mempercayakan uangku pada teknologi yang bisa diretas. Kau tahu apa yang aku takutkan? Hacker. Mereka ada di mana-mana!"

"Ya, dan tampaknya mereka juga punya konspirasi dengan gravitasi untuk mencuri uangmu," balas Wooyoung, melangkah masuk tanpa permisi. "Jadi, berapa banyak yang hilang kali ini?"

Hongjoong mengembuskan napas panjang. "Lima ratus ribu won. Terbang begitu saja."

"Aku heran kenapa kau masih bisa bertahan hidup dengan logika selemah itu," Wooyoung terkekeh sambil membuka kulkas Hongjoong tanpa rasa bersalah. Dia mengeluarkan sebotol susu kedelai dan langsung meminumnya dari botol. "Oh, ini kadaluarsa."

"Ya Tuhan, Wooyoung, aku bahkan belum mengundangmu masuk! Dan hentikan minum dari botol itu!" seru Hongjoong, meraih botol dari tangan Wooyoung. Tapi terlambat. Pria itu sudah meneguk setengah isinya.

"Yah, setidaknya aku memberimu pelajaran soal mengawasi tanggal kadaluarsa," Wooyoung mengangkat bahu, dengan ekspresi polos yang jelas-jelas dibuat-buat.

Hongjoong menutup matanya dan menghitung sampai sepuluh dalam hati. Tidak, ia tidak bisa membiarkan Wooyoung mengacaukan hari ini juga. Meski begitu, ia tahu itu hanyalah harapan kosong. Wooyoung adalah definisi kekacauan dalam bentuk manusia. Pria itu selalu muncul di saat yang paling tidak diinginkan, membawa masalah-masalah yang tidak masuk akal—seperti kejadian seminggu lalu, ketika Wooyoung bersikeras bahwa kucing tetangga mereka sebenarnya adalah agen rahasia.

Namun, hari ini, Hongjoong punya rencana. Setelah berbulan-bulan hidup pas-pasan di apartemen sempit ini, dia akhirnya memutuskan untuk mengambil pekerjaan sampingan: menjadi pengantar makanan. Tidak glamor, memang, tapi cukup untuk membayar sewa dan makan tiga kali sehari. Setidaknya, itu rencananya sebelum uangnya memutuskan untuk melakukan aksi terjun bebas.

"Jadi, kau akan bekerja hari ini?" tanya Wooyoung, duduk di sofa usang dengan cara yang membuatnya terlihat seperti model katalog furnitur kelas menengah.

"Ya, asalkan aku masih punya uang untuk beli bahan bakar sepeda motor." Hongjoong menatap Wooyoung dengan tatapan curiga. "Kenapa kau bertanya?"

Wooyoung tersenyum, sebuah senyuman yang biasanya menjadi tanda bahaya. "Oh, tidak ada alasan khusus. Aku hanya berpikir… mungkin aku bisa ikut denganmu?"

Hongjoong mengerutkan dahi. "Ikut? Untuk apa? Kau bahkan tidak bisa bangun sebelum tengah hari tanpa alarm yang lebih keras dari konser heavy metal."

"Joong, kau meremehkan bakatku," Wooyoung berdiri dan melangkah mendekat, ekspresi wajahnya berubah serius. "Aku adalah navigator alami. Dengan aku di belakangmu, kita akan menjadi tim pengantar makanan terhebat di kota ini."

"Itu omong kosong."

"Tapi kau menyukainya, kan?" Wooyoung menatap Hongjoong dengan mata yang bersinar penuh harapan, seolah-olah dia baru saja meminta Hongjoong untuk menyelamatkan dunia, bukan hanya membiarkannya menumpang di motor.

Dan di sinilah masalah sebenarnya. Hongjoong tahu dia tidak bisa berkata tidak pada tatapan itu. Karena seaneh apapun Wooyoung, ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk menolak. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa frustrasi atas kebiasaan buruknya. Mungkin itu cinta. Atau mungkin hanya kebodohan.

Satu jam kemudian, mereka berdua sudah berada di jalan, dengan Hongjoong mengendarai motor dan Wooyoung duduk di belakangnya, memegang tas pengantar makanan. Matahari sudah mulai naik, dan kota mulai sibuk. Suara klakson dan hiruk-pikuk orang-orang yang terburu-buru memenuhi udara.

"Belok kiri di depan," kata Wooyoung sambil membaca alamat dari ponselnya.

"Aku tahu itu. Aku tidak buta," balas Hongjoong.

"Tentu saja tidak, tapi kau juga tidak punya kemampuan telepati untuk tahu alamat ini tanpa aku," jawab Wooyoung dengan nada sok tahu.

Hongjoong menggerutu, tapi menuruti arahan Wooyoung. Sebenarnya, ia terkejut Wooyoung bisa serius untuk sekali ini. Mereka berhasil mengantar beberapa pesanan tanpa masalah, dan Hongjoong hampir mulai percaya bahwa ini adalah ide bagus. Sampai pesanan terakhir.

"Hei, tasnya ringan sekali. Kau yakin makanan masih ada di dalam?" tanya Hongjoong, saat mereka berhenti di depan gedung apartemen pelanggan.

Wooyoung membuka tas dan terdiam.

"Kau bercanda, kan?" kata Hongjoong dengan nada berbahaya.

"Um… sepertinya makanan ini… melayang?" jawab Wooyoung dengan senyum gugup.

Hongjoong merasa kepalanya akan meledak. "Apa maksudmu makanan ini melayang?"

"Ya, maksudku… mungkin gravitasi dan hacker itu bekerja sama lagi?" Wooyoung mencoba bercanda, tapi itu hanya membuat Hongjoong semakin marah.

"Aku tidak percaya ini! Kau… Kau benar-benar… Wooyoung, apa kau tahu seberapa penting pekerjaan ini bagiku?"

Wooyoung terdiam, untuk pertama kalinya terlihat benar-benar bersalah. "Aku tidak sengaja, Joong. Aku… Aku hanya ingin membantu."

Melihat ekspresi itu, amarah Hongjoong mereda, digantikan oleh rasa lelah. Ia menghela napas panjang dan mengusap wajahnya. "Oke, kita cari makanan itu. Mungkin jatuh di jalan."

"Tentu, aku akan mencarinya sampai ketemu!" Wooyoung melompat dari motor dengan semangat berlebihan, membuat Hongjoong bertanya-tanya bagaimana ia bisa begitu optimis.

Mereka menghabiskan setengah jam berikutnya menyusuri jalanan, bertanya pada orang-orang, bahkan mencari di tempat-tempat yang tidak masuk akal seperti atap gedung. Tapi makanan itu tidak ditemukan.

"Kau tahu," kata Wooyoung akhirnya, sambil duduk di trotoar dengan napas terengah-engah. "Mungkin makanan itu memang tidak ditakdirkan untuk sampai ke pelanggan."

"Ini bukan soal takdir, Wooyoung. Ini soal tanggung jawab," balas Hongjoong, meski ia tahu percuma berbicara serius pada pria itu.

Wooyoung tertawa kecil. "Kau terlalu serius, Joong. Kadang-kadang, hal-hal aneh terjadi. Seperti uang yang melayang. Atau makanan yang hilang. Atau… perasaan yang muncul begitu saja."

Hongjoong menatap Wooyoung dengan bingung. "Apa maksudmu?"

Wooyoung hanya tersenyum, sebuah senyum yang kali ini tidak licin atau dibuat-buat, tapi tulus. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku peduli. Meski aku sering membuatmu kesal."

Hongjoong terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tapi entah bagaimana, itu cukup. Mungkin, uang yang melayang dan makanan yang hilang hanyalah cara semesta untuk menunjukkan bahwa terkadang, hal-hal kecil tidak sepenting orang yang ada di sisimu.

Dan di saat itu, Hongjoong merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semuanya akan baik-baik saja.

MYRTLE 🌸 bottom!Hongjoong [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang