29 Juli 2016,
Hari Jumat, yang katanya selalu di bawah naungan keberuntungan, kecuali kalau kau anak dewa Dionysus seperti aku."Dear Diary, ini dimulai dengan tidak sengaja menemukan Yeosang di kamar mandi wanita."
Hongjoong duduk bersila di atas ranjang asrama kecilnya, mengenakan piyama yang warnanya terlalu merah untuk disebut elegan, tapi terlalu bagus untuk disebut norak. Ia memandang buku catatan kecilnya dengan raut muka serius—yang, entah bagaimana, selalu terlihat ironis mengingat ia adalah anak Dionysus. Tapi siapa yang tahu? Mungkin gen ibunya yang seorang manusia biasa memberi efek penyeimbang dalam ekspresinya.
Flashback ke tadi pagi.
Hongjoong berjalan dengan santai di koridor, melafalkan sebuah mantra di bawah napasnya. Ia baru saja selesai pelajaran "Penguasaan Pukulan Petir Sederhana" (kelas wajib untuk anak-anak demigod tingkat pemula, walau ia sudah mahir sejak umur lima belas), ketika ia mendengar suara-suara aneh dari dalam kamar mandi wanita.
Sebagai seseorang yang, menurutnya sendiri, dikutuk dengan rasa ingin tahu yang lebih besar daripada otaknya, ia membuka pintu tanpa pikir panjang. Dan di sanalah Yeosang, anak Apollo, berdiri.
"Yeosang," ucap Hongjoong datar, sambil berusaha tidak menatap tubuh setengah telanjang cowok itu yang terlalu sempurna untuk disebut wajar. "Kenapa kau ada di sini? Ini kamar mandi wanita."
Yeosang memutar matanya, seperti seorang artis sinetron murahan yang terlalu lelah menghafal dialog. "Aku tersesat."
"Tersesat?" Hongjoong mendongak, memperhatikan siluet Yeosang yang berdiri di balik cahaya jendela. Dengan rambut pirangnya yang tergerai basah, bahu yang terlihat seperti pahatan Michelangelo, dan handuk kecil yang nyaris tak cukup menutupi pinggangnya, Yeosang lebih terlihat seperti tokoh drama Yunani daripada demigod remaja biasa. "Kau anak Apollo. Bukannya seharusnya kau punya insting navigasi alami?"
Yeosang mengangkat bahu. "Kamar mandi di kamp ini terlalu membingungkan."
"Tapi kenapa telanjang?"
"Aku mau mandi, jelas."
Hongjoong mengangkat alis. "Di kamar mandi wanita?"
Yeosang mendesah panjang, dan jika desahannya adalah sebuah novel, itu pasti novel 600 halaman tentang keputusasaan dan kekeliruan arsitektur kamar mandi di Camp Half-Blood. "Lihat, aku cuma ingin mencuci muka. Tapi lalu aku merasa panas, jadi aku melepas bajuku. Bukankah itu wajar?"
"Wajar untuk exhibitionist, mungkin."
"Sombong sekali untuk seseorang yang rambutnya terlihat seperti kucing liar baru bangun tidur," balas Yeosang tanpa ekspresi.
Hongjoong meraba rambutnya dan menyadari dengan ngeri bahwa Yeosang benar. "Tapi setidaknya aku masih punya sopan santun," tukasnya cepat, meski ia tahu pembelaannya lemah.
"Dear Diary, Yeosang adalah teka-teki yang bahkan dewa Hermes mungkin enggan untuk menyelesaikannya. Tapi mengapa aku merasa selalu tertarik untuk mencoba?"
Hongjoong duduk di ruang makan bersama teman-teman sesama anak Dionysus yang lain. Mereka sedang mendiskusikan strategi memenangkan lomba tarik tambang melawan anak-anak Poseidon—walau secara logika, itu mustahil.
Namun, matanya terus mencari sosok tertentu. Dan ketika Yeosang muncul, mengenakan tunik putih yang terlalu tipis untuk menjadi "pakaian normal," Hongjoong menahan napas.
"Berhenti memandangiku seperti itu," kata Yeosang tiba-tiba, mengambil tempat di bangku seberang meja Hongjoong.
Hongjoong pura-pura kaget. "Siapa yang memandangimu? Aku sedang melihat anggur ini, jelas lebih menarik daripada dirimu."
Yeosang tersenyum tipis, senyuman yang entah bagaimana terasa seperti ancaman atau ajakan. "Kalau begitu, jangan tersenyum seperti itu. Nanti aku salah sangka."
"Jadi kau ingin aku tersenyum?"
"Tidak."
Mereka terdiam, sampai akhirnya Yeosang bicara lagi, "Dengar, kalau kau punya sesuatu untuk dikatakan, katakan saja."
Hongjoong memandangnya dengan intensitas yang bahkan membuat dirinya sendiri sedikit gugup. "Baiklah. Kenapa kau terlalu... sempurna?"
Yeosang tampak bingung. "Itu... pertanyaan aneh."
"Tapi itu fakta," Hongjoong melanjutkan, mengabaikan keraguan di wajah Yeosang. "Kau selalu terlihat seperti lukisan hidup. Bahkan anak-anak Aphrodite mungkin iri padamu."
"Kau tahu," jawab Yeosang, sedikit menyipitkan mata, "kadang aku merasa kau lebih baik diam. Setidaknya saat kau diam, aku bisa menganggapmu pintar."
Hongjoong tertawa. "Touché."
"Dear Diary, bagaimana caranya seseorang bisa menyebalkan dan memikat di waktu yang sama? Yeosang adalah jawaban untuk semua teka-teki yang tidak pernah kuminta."
Sebelum Hongjoong sempat menutup buku hariannya, Yeosang mengetuk pintu kamarnya.
"Ada apa?" tanya Hongjoong, setengah penasaran, setengah bingung.
Yeosang masuk tanpa izin. "Aku hanya ingin tahu apakah kau benar-benar tulus dengan semua kata-katamu tadi."
Hongjoong menelan ludah. "Kata-kata yang mana?"
"Yang kau bilang... tentang aku terlihat sempurna."
Hongjoong mengangkat bahu, mencoba terlihat santai meski dadanya berdebar seperti genderang perang. "Yah, kau memang sempurna. Maksudku, siapa yang bisa membantahnya? Tapi jangan terlalu bangga. Itu hanya fakta, bukan pujian."
Yeosang memiringkan kepala, menyipitkan mata seperti seorang profesor yang sedang menilai esai mahasiswa. "Kau tahu," katanya pelan, "kadang aku merasa kau terlalu sinis untuk seseorang yang selalu terlihat seperti sedang mabuk cinta."
Hongjoong terdiam.
Dan saat Yeosang akhirnya keluar dari kamarnya, meninggalkan aroma sitrus dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, Hongjoong tahu bahwa ia berada dalam masalah besar.
"Dear Diary, mungkin ini kutukan. Atau mungkin ini hanya sifat dasar seorang anak Dionysus yang selalu jatuh cinta pada sesuatu yang berbahaya. Tapi yang pasti, Yeosang adalah badai yang tak mungkin kuhindari."

KAMU SEDANG MEMBACA
MYRTLE 🌸 bottom!Hongjoong [⏯]
Fanfictionbottom!Hongjoong / Hongjoong centric Buku terjemahan ©2018, -halahala_