Choi Jongho [⚠mpreg]

28 5 0
                                    

"Jongho, kau sadar kita tidak punya rumah, kan?"

Hongjoong berdiri di tengah padang rumput luas dengan tangan memegang perutnya yang buncit, menatap Jongho dengan pandangan lelah sekaligus penuh sindiran. Angin dingin meniup poninya yang sudah terlalu panjang karena mereka tidak sempat berhenti di kota untuk potong rambut.

"Aku tahu," jawab Jongho santai sambil mengikat tali tenda yang hampir roboh. "Tapi aku pikir kau menikah denganku untuk petualangan, bukan? Bukankah itu yang kau bilang waktu pertama kita bertemu?"

"Petualangan, ya. Aku membayangkan naik gunung atau menyelam di laut. Bukan berkemah tanpa arah sambil menunggu bayi ini lahir di tengah ladang!" Hongjoong menunjuk perutnya dengan dramatis, seolah mengingatkan Jongho bahwa beban di dalamnya bukan sekadar tas ransel.

Jongho menahan tawa, berusaha terlihat serius. "Kita nomaden, Joong. Itu artinya kita bisa tinggal di mana saja. Anggap saja dunia ini adalah rumah kita."

Hongjoong melipat tangan di dada, berusaha menekan rasa kesal. "Oh, ya? Kalau begitu, kenapa 'rumah' kita tidak pernah punya dinding atau atap? Aku butuh lebih dari sekadar kanvas ini untuk melindungi diriku dari badai, Jongho."

"Aku bisa membangun benteng dari cintaku untukmu," jawab Jongho dengan senyum lebar, mencoba menggoda.

Hongjoong mendengus. "Cinta tidak akan menghentikan angin atau hujan, Jongho. Cinta juga tidak bisa membayar dokter kalau bayi ini lahir di tengah hutan tanpa asuransi kesehatan."

Setelah akhirnya tenda berdiri tegak-walaupun miring sedikit ke kiri-Jongho duduk di samping Hongjoong, mencoba menggali suasana hati pasangannya yang jelas-jelas buruk.

"Joong, aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba lihat sisi baiknya. Kita bebas. Kita tidak terjebak di satu tempat seperti kebanyakan orang. Kita hidup di alam, bersama bintang-bintang."

Hongjoong menatap langit yang sudah gelap, lalu kembali menatap Jongho. "Bintang-bintang? Aku lebih sering melihat lampu depan mobil yang hampir menabrak kita di jalan raya daripada bintang."

Jongho terdiam, mencoba mencari argumen lain. "Oke, mungkin kita tidak punya rumah tetap. Tapi aku sudah membuat rencana. Setelah bayi ini lahir, kita bisa tinggal di campervan. Bukankah itu romantis?"

Hongjoong mengangkat alis. "Campervan? Jadi kau ingin aku melahirkan di tempat yang bahkan tidak punya toilet?"

"Hei, campervan modern punya toilet!" Jongho membela diri. "Dan aku akan memastikan semuanya bersih dan nyaman untukmu. Bahkan, aku bisa memasang gorden lucu supaya kau merasa seperti di rumah."

Hongjoong memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. "Aku mencintaimu, Jongho. Tapi kadang-kadang, aku ingin membenturkan kepalamu ke tiang tenda ini."

"Kalau itu membuatmu merasa lebih baik, aku rela," jawab Jongho dengan nada serius, meskipun sudut bibirnya mulai melengkung naik.

Tengah malam, suara serangga memenuhi udara. Hongjoong terbangun dengan rasa nyeri di perutnya. Ia menyenggol Jongho yang sedang mendengkur pelan.

"Jongho, bangun. Aku pikir waktunya tiba."

Jongho membuka mata dengan cepat, wajahnya langsung panik. "Tiba? Sekarang? Tapi kita tidak punya rumah sakit!"

"Itu salahmu!" Hongjoong berteriak, menggigit bibirnya saat rasa sakit datang lagi.

"Oke, oke! Tenang, aku akan mengurus ini." Jongho mulai berlari ke sana kemari di sekitar tenda, mencoba mencari sesuatu yang berguna. Akhirnya ia kembali dengan sebuah panci kecil.

"Apa yang akan kau lakukan dengan itu? Memasak?" Hongjoong menatapnya dengan penuh kecurigaan.

"Tidak, aku pikir ini bisa jadi tempat steril untuk sesuatu. Aku lihat di film!" Jongho terlihat terlalu percaya diri untuk seseorang yang jelas-jelas tidak tahu apa yang ia lakukan.

Hongjoong menghela napas panjang. "Jongho, kalau kau ingin aku tetap hidup, kita butuh lebih dari panci kecil dan insting nomadenmu."

Setelah beberapa lama, Hongjoong akhirnya melahirkan bayi kecil mereka-dibantu oleh seorang bidan lokal yang kebetulan mereka temui di desa terdekat saat Jongho panik dan berlari mencari bantuan.

Saat semuanya selesai, Hongjoong terbaring lemah di dalam tenda yang kini terasa lebih hangat. Jongho duduk di sebelahnya, memandang bayi kecil di pelukan Hongjoong dengan mata penuh haru.

"Aku tahu ini bukan rencana yang sempurna," bisik Jongho. "Tapi kau membuat semuanya terasa seperti rumah, Joong. Bahkan di tengah padang rumput ini."

Hongjoong tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih pucat. "Jongho, jika kau mencintaiku, kau akan berhenti bicara soal 'petualangan' untuk sementara. Kita butuh tempat yang nyata, setidaknya sampai aku bisa berjalan tanpa rasa sakit."

"Oke," jawab Jongho sambil mengecup dahi Hongjoong. "Campervan itu bisa menunggu. Untuk sekarang, aku akan menemukan tempat yang lebih baik... dan mungkin dengan dinding."

Hongjoong tertawa kecil, lalu menatap bayi mereka. "Baiklah, Jongho. Tapi kalau kau menyebut 'bintang-bintang' lagi, aku akan benar-benar membenturkan kepalamu."

MYRTLE 🌸 bottom!Hongjoong [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang