Jung Wooyoung [⚠mpreg]

33 4 0
                                    

“Aku tidak pernah berpikir aku akan berada di sini, di Senegal, bersiap-siap untuk melahirkan dengan adat budaya lokal,” kata Hongjoong, berusaha keras menjaga napasnya tetap stabil di tengah kontraksi yang datang semakin sering. Matanya menatap tajam ke arah Wooyoung, yang berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi campuran antara rasa bersalah dan panik.

“Aku juga tidak pernah berpikir aku akan menikahi pria yang bisa hamil, tapi hei, hidup penuh kejutan, bukan?” balas Wooyoung, mencoba tersenyum meskipun keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Lagipula, kau sendiri yang bilang ingin pengalaman yang otentik, Joong.”

“Aku bilang aku ingin mencoba makanan lokal, bukan melahirkan dengan semua ritual ini!” Hongjoong memekik, tangannya mencengkeram kain tradisional yang melilit perutnya. Ia tampak seperti raja kecil yang sedang disiapkan untuk upacara, bukan seseorang yang hampir melahirkan.

Ruangan itu dipenuhi aroma dupa dan suara nyanyian lembut dari para perempuan tua yang duduk di sudut, mengenakan boubou berwarna cerah. Di tengah ruangan, sebuah mangkuk besar berisi air kelapa dan ramuan tradisional diletakkan, sementara seorang dukun perempuan—atau mungkin bidan, Hongjoong tidak yakin—berjalan mengelilinginya sambil melantunkan doa dalam bahasa Wolof.

“Jadi,” Wooyoung berbisik, mendekati Hongjoong dengan hati-hati, “apa kita benar-benar akan melakukannya seperti ini? Maksudku, aku bisa menelepon ambulans kalau kau berubah pikiran.”

“Kau pikir aku bisa berubah pikiran sekarang?!” Hongjoong menatapnya dengan tatapan tajam. “Kau yang membujukku untuk tinggal di desa ini selama sebulan, dan sekarang kau ingin keluar? Wooyoung, aku bersumpah, kalau aku selamat dari ini, aku akan mencabut SIM-mu!”

“Kenapa SIM-ku yang disalahkan?!”

“Karena kalau bukan karena ide gilamu untuk menyewa motor dan menjelajahi ‘jalan-jalan terpencil’, aku tidak akan jatuh cinta dengan tempat ini dan, entah bagaimana, setuju untuk melahirkan di sini!”

Wooyoung membuka mulutnya untuk membalas, tapi kemudian kontraksi lain membuat Hongjoong meringis kesakitan. Ia segera memegang tangan Hongjoong, membiarkan pasangannya mencengkeramnya sekuat tenaga—yang tentu saja terasa seperti sedang diremas oleh palu godam.

Dukun perempuan itu akhirnya mendekat, membawa mangkuk ramuan ke arah Hongjoong. Dengan suara yang tenang, ia berkata, “Minumlah ini. Ini akan membantu mempercepat prosesnya.”

Hongjoong memandang ramuan itu dengan ragu. “Apa ini?”

“Air kelapa, jahe, dan beberapa ramuan tradisional. Jangan khawatir, ini aman untukmu dan bayimu.”

“Aman?” Hongjoong menoleh ke Wooyoung, matanya menyipit. “Apa kau tahu apa yang mereka masukkan ke dalamnya?”

Wooyoung mengangkat bahu. “Mungkin daun-daunan dan sedikit sihir?”

“Kalau aku berubah jadi katak setelah ini, kau akan ikut bertanggung jawab.” Dengan enggan, Hongjoong meminum ramuan itu, dan rasanya tidak seburuk yang ia bayangkan.

Saat kontraksi semakin intens, para perempuan mulai bernyanyi lebih keras, menciptakan suasana yang hampir mistis di ruangan itu. Dukun itu kemudian memberikan instruksi kepada Hongjoong untuk mulai mengejan, sementara Wooyoung berdiri di belakangnya, mencoba memberikan dukungan yang tidak terlalu berguna.

“Ayo, Joong, kau bisa melakukannya! Kau kuat!” Wooyoung berseru, meskipun suaranya terdengar lebih gugup daripada penuh semangat.

“Diam, Wooyoung! Kalau kau terus bicara, aku akan melahirkan bayimu di atas kakimu!” Hongjoong berteriak, suaranya bercampur antara kesakitan dan amarah.

Proses itu berlangsung dengan penuh kekacauan, dengan Hongjoong memekik setiap kali Wooyoung mencoba mengatakan sesuatu yang terdengar seperti motivasi, dan para perempuan tua terus bernyanyi sambil menepuk-nepuk paha mereka.

Akhirnya, setelah perjuangan yang tampaknya berlangsung selamanya, suara tangisan bayi memenuhi ruangan. Semua orang terdiam sejenak, kemudian bersorak dengan penuh sukacita.

Dukun itu mengangkat bayi kecil itu ke udara, seperti adegan dari The Lion King. “Selamat, anak ini adalah berkah bagi kalian dan komunitas ini,” katanya sambil tersenyum hangat.

Hongjoong, yang kelelahan tapi penuh rasa lega, menatap bayi itu dengan mata berkaca-kaca. “Dia… dia sempurna.”

Wooyoung mengusap air mata di sudut matanya, lalu menoleh ke Hongjoong. “Kau tahu, Joong, kalau bayi ini tumbuh besar, aku akan memberitahunya bahwa ibunya melahirkan seperti pahlawan. Dengan adat tradisional, diiringi nyanyian, dan… sedikit ancaman.”

Hongjoong hanya bisa tertawa lemah. “Kau memang tak pernah serius, ya.”

“Kalau aku serius, kau tidak akan pernah mencintaiku,” Wooyoung balas menggoda, sebelum mengecup dahi Hongjoong. “Selamat, Joong. Kau luar biasa.”

Ini adalah pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan—dan ia tidak akan pernah membiarkan Wooyoung melupakannya juga.

MYRTLE 🌸 bottom!Hongjoong [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang