39. Keputusasaan

26 3 2
                                    

Seiring berjalannya waktu, sikap Jeslyn semakin berubah. Dia menjadi jauh, dingin, dan tak tersentuh. Setiap kali Exsan mencoba mendekat atau memulai percakapan, Jeslyn selalu menemukan cara untuk menghindar. Pekerjaan dan kesibukannya dijadikan alasan, tapi Exsan bisa merasakan ada yang lebih dari sekadar itu.

Jeslyn tidak lagi menatapnya dengan pandangan yang sama, tidak lagi menanggapi kehadirannya dengan hangat. Bahkan ketika mereka berada dalam satu ruangan, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, dinding yang semakin hari semakin tinggi dan tebal.

Jeslyn mulai sering mengurung diri di kamar atau terfokus pada pekerjaannya, meninggalkan Exsan dalam keheningan yang penuh tanda tanya. Dia menolak sentuhan kecil yang dulu biasa ia terima, bahkan sekadar duduk bersama sambil menikmati sarapan pagi kini terasa mustahil.

Jeslyn tampak menjaga jarak dengan sengaja, membatasi interaksi mereka hingga yang benar-benar diperlukan. Hanya tatapan dingin dan wajah tanpa ekspresi yang tersisa untuk Exsan, membuatnya bingung dan terjebak dalam ketidakpastian.

Exsan yang biasanya penuh percaya diri, kini mulai kehilangan arah. Dia mencoba berbagai cara untuk memperbaiki hubungan mereka, namun semuanya seperti memantul dari tembok tebal yang dibangun oleh Jeslyn.

Setiap usaha yang ia lakukan untuk mendekatkan diri hanya dibalas dengan kesunyian yang menusuk. Tatapan lembut yang pernah ia kenal dari Jeslyn telah digantikan oleh kekosongan yang membuatnya semakin bingung dan putus asa.

Dia tidak tahu apa yang salah, tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menghentikan jarak yang terus melebar di antara mereka. Hari demi hari berlalu, dan Exsan merasa semakin terasing dari orang yang dulu begitu dekat dengannya. Setiap kali dia mencoba meraih Jeslyn, dia hanya menemukan bayangannya, bukan sosok yang pernah mengisi hatinya dengan cinta dan kehangatan.

💌💌💌💌💌

Di ruangan pribadi Jeslyn yang penuh keheningan, suasana mendadak berubah tegang ketika Jeslyn, dengan suara datar namun berat, mengungkapkan niatnya untuk mengakhiri pernikahannya dengan Exsan. "Kayanya gue mau selesai aja deh sama Exsan," ucapnya pelan namun penuh ketegasan.

Kalimat itu membuat Tasya dan Corniel seketika membelalakkan mata, mulut mereka terbuka tak percaya.

"APA?!" seruan mereka nyaris bersamaan, memenuhi ruangan yang sebelumnya sunyi. Corniel menatap Jeslyn dengan sorot penuh kekhawatiran, sementara Tasya memegang bahu Jeslyn seolah mencoba menahan sesuatu yang tak bisa mereka kontrol.

Namun Jeslyn hanya tersenyum lemah, perasaan lelah tampak jelas terpancar dari matanya. "Gue udah nggak kuat, gue cape. Gue pengen selesai aja," katanya sambil menghela napas panjang, seolah ucapan itu mengeluarkan beban yang sudah lama ia pendam. Matanya tidak lagi memancarkan optimisme seperti dulu kini hanya ada kelelahan dan rasa putus asa yang mendominasi.

Tasya, yang duduk di sebelahnya, berusaha meraih tangan Jeslyn. "Jeslyn, kenapa Lo sampe mikir gitu sih? Coba Lo pertahanin sebentar lagi hubungan Lo sama Exsan," ucap Tasya, suaranya penuh nada memohon.

Corniel, yang duduk berlawanan arah dengan Tasya, mengangguk pelan. "Iya Jes, gue nggak tau apa yang sebenernya terjadi antara Lo dan Exsan, tapi... Pisah bukan jalan yang bener, Jes. Gue nggak mau Lo nyesel di kemudian hari kalau sampe Lo bener-bener selesai sama Exsan," timpalnya. Matanya menatap Jeslyn penuh simpati, namun juga kekhawatiran.

Jeslyn menunduk, jemarinya menggenggam ujung roknya dengan erat, seolah mencari pegangan di tengah kekacauan batinnya. "Gue udah bingung sama hubungan gue. Gue juga salah karena langsung iyain perjodohan ini, gue pikir seiring berjalannya waktu Exsan bakal luluh tapi ternyata Exsan nggak pernah bener-bener mau balas cinta gue," jawab Jeslyn dengan suara yang semakin melemah, namun jelas penuh kejujuran. Ada kesedihan mendalam di matanya, kesedihan yang mungkin hanya dirinya yang benar-benar pahami.

Mrs. Crazy Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang