16. Khawatir? (2)

27 7 1
                                    

Tasya sudah sampai didepan rumah bertingkat tiga itu, disebelahnya ada Jeslyn yang memejamkan mata. Tasya menghela napas lalu keluar dari dalam mobil, setelah itu dia berusaha membantu Jeslyn agar ikut keluar juga. Tidak bisa di pungkiri bahwa suhu tubuh Jeslyn benar-benar sangat panas.

Dengan perlahan Tasya menaiki satu persatu tangga di dalam rumah sang sahabat, walaupun sedikit kesulitan tapi Tasya berhasil membawa Jeslyn masuk kedalam kamarnya. Didalam kamar yang terlihat sangat rapih itu Tasya membaringkan Jeslyn di atas kasur besarnya, dia menarik selimut dan menutup sebagian tubuh Jeslyn.

Keringat bercucuran di kening Jeslyn, wajahnya pucat, dan walau badannya panas tapi Jeslyn sangat menggigil sekarang.

Tasya meneguk ludahnya, dia melirik jam yang bertengger di tangan kanan, kenapa Exsan lama sekali?! Tasya mengguyar rambutnya, “Gue ambil kompres dulu ya, Jes,” ucapnya walau Jeslyn tidak mengindahkan sama sekali.

Selang lima menit akhirnya Tasya kembali dengan wadah berisi air dan handuk kecil, dengan telaten Tasya mengkompresi kening Jeslyn. Kenapa juga Jeslyn sangat sulit untuk dibawa kerumah sakit! Ya walau bisa saja Tasya membawanya sekarang, tapi dia tidak mau mengambil resiko. Karena dulu, terakhir kali Jeslyn di bawa kerumah sakit saat pingsan, ketika perempuan itu sadar Jeslyn langsung mengamuk dan memaksa untuk pulang.

Sudah hampir tigapuluh menit namun Exsan tidak kunjung datang hal itu membuat Tasya sangat resah, apakah laki-laki itu tidak perduli dengan keadaan Jeslyn? Tapi dengan bermodal pikiran positif, Tasya terus mengucapkan kalimat “gue mohon Lo Dateng Exsan…”

Setelah lewat tigapuluh lima menit akhir sosok yang di tunggu-tunggu pun datang. Tapi laki-laki itu tidak sendiri, dia bersama dengan Digo. Wajah Exsan terlihat sangat khawatir, peluh bercucuran, seragamnya pun terlihat basah oleh keringat, rambut laki-laki itu juga sedikit berantakan.

“Lo dari mana aja?! Gue udah setengah jam disini nungguin Lo!”

Exsan mengatur napasnya lalu meneguk ludah, “Motor gue mogok dan gue harus nunggu Digo biar dia bisa anterin gue kesini,”

“Kenapa Lo nggak naik taxi aja—”

“Ini bukan waktunya debat! Gimana Jeslyn, dia udah baikan?”

Tasya menggaruk belakang kepalanya, “Panasnya belum turun, dia nggak mau dibawa kerumah sakit atau minum obat,”

“Kenapa?”

“Lo tanya aja sama istri Lo sendiri! Gue pusing mikirin nya, apasih yang spesial dari Lo sampe-sampe dia mau minum obat kalau Lo yang ngasi,”

Exsan diam mematung sedangkan Digo di sebelahnya hanya berdeham dengan kaki yang perlahan mundur.

Apakah Jeslyn benar-benar menunggunya?

“Yaudah mana obatnya?” Tasya memberikan obat yang sempat dia beli saat menuju pulang kerumah Jeslyn.

“Gue harus balik ke kantor, masih banyak kerjaan yang belum beres. Gue titip Jeslyn sama Lo,” setelah mengucapkan itu Tasya meraih ponselnya yang berada di atas nakas lalu keluar dari dalam kamar bernuansa abu-abu itu.

Exsan memandang obat yang di berikan Tasya, dia tidak tau bagaimana caranya mengurus orang yang sedang sakit. Itulah mengapa dia membawa Digo kesini untuk membantunya, kenapa harus Digo? Kenapa tidak sahabatnya saja yang lain? Karena menurut Exsan, Digo lebih berpengalaman soal ini, mengingat banyaknya mantan pacar yang dimiliki laki-laki berdarah Belanda-Indonesia itu.

“Digo, Lo inget kan apa yang gue omongin tadi?”

Digo mengalihkan pandangannya dari Jeslyn menuju Exsan, “Gampang, mana sini obatnya,”

Mrs. Crazy Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang