Beberapa menit yang lalu…
Khatrine semakin mendekat, gerakannya agresif dan penuh determinasi, membuat Exsan merasa terpojok. Napasnya semakin berat ketika Khatrine dengan cepat memotong jarak di antara mereka, menyentuhnya tanpa keraguan. Exsan berusaha mundur, mencoba melepaskan diri dari cengkraman Khatrine, tapi langkahnya tertahan, tubuhnya tertekan oleh dorongan kuat perempuan itu.
Tangan Khatrine meluncur dengan lancang, memaksa Exsan dalam posisi yang membuatnya sulit bergerak. Meski dia mencoba menolak, tubuhnya tidak dapat sepenuhnya menghindari sentuhan Khatrine yang semakin berani.
Ketegangan di udara semakin terasa berat, dan setiap upaya Exsan untuk melarikan diri terhalang oleh kekuatan yang tiba-tiba dimiliki Khatrine dalam tindakannya.
Wajah Exsan memerah, bukan karena keinginan, tetapi karena frustasi dan ketidakberdayaan yang menyelimuti dirinya. Khatrine terus mendesak, memaksakan niatnya tanpa memedulikan ekspresi penolakan di wajah Exsan, yang hanya bisa pasrah dalam pergolakan batinnya.
Dalam hatinya, Exsan bergetar, terperangkap dalam ketakutan yang mendalam. Ia menutup matanya sesaat, berdoa dalam diam, memohon dengan segenap hati agar Jeslyn tidak tiba di saat seperti ini. Kepanikan menggulung pikirannya, mencengkeram setiap bagian dirinya.
Hanya satu harapan yang terus terulang dalam benaknya bahwa Tuhan mendengar permohonannya, agar Jeslyn tidak melihat perbuatan yang terjadi di depan matanya. Exsan merasa semakin terjebak dalam situasi yang tak terkendali, dengan rasa bersalah yang mulai menghantui setiap tarikan napasnya.
💌💌💌💌💌
Mobil Jeslyn berhenti di pinggir jalan yang sepi, di tempat yang hampir tak berpenghuni. Di sekelilingnya hanya ada ruko-ruko kosong yang tutup dan beberapa rumah tua yang tampak sunyi, dengan penerangan minim yang membuat suasana semakin gelap dan muram.
Jeslyn keluar dari mobil dengan langkah berat, air matanya mengalir deras tanpa henti, setiap tetes mencerminkan luka di hatinya. Tangannya berulang kali menepuk dadanya yang terasa sesak, seolah ingin mengusir rasa sakit yang semakin menghimpit jiwanya.
Langkahnya membawanya ke sebuah bangku kayu yang terpencil. Jeslyn duduk, menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya, menahan tangis yang tak lagi bisa ia kendalikan.
Setiap isakan adalah luapan perasaan marah, kecewa, dan hancur, semuanya bercampur dalam satu ledakan emosi yang tak tertahankan. Ia menangis sejadi-jadinya, membiarkan semua perasaan itu mengalir bebas tanpa hambatan.
Tangannya kemudian bergerak, menyentuh perutnya dengan lembut. Dengan air mata yang masih mengalir, ia berbicara dalam bisikan penuh rasa sakit, seolah meminta maaf kepada anak yang dikandungnya. Jeslyn tahu, keputusan ini berat, tapi di saat seperti ini, ia merasa tak ada pilihan lain.
"Maafin mami ya sayang, untuk saat ini mami bakal egois. Kita bakal hidup tanpa papi kamu,”
💌💌💌💌💌
Exsan terduduk di teras rumah, bersandar lemas pada tiang besar di dekat pintu masuk. Tangannya bergetar hebat, memegang ponsel yang berkali-kali ia gunakan untuk mengirim pesan dan menelepon Jeslyn.
Setiap panggilan tak terjawab membuat rasa khawatirnya semakin memuncak. Wajahnya penuh kecemasan, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya kalut membayangkan apa yang mungkin terjadi pada Jeslyn di luar sana.
Hatinya bergemuruh, penuh ketakutan. Kecemasan merayap semakin dalam, membayangi pikirannya. Exsan takut Jeslyn mungkin melakukan sesuatu yang tak bisa ia cegah, hal yang berbahaya atau di luar kendali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mrs. Crazy Wife
Teen FictionMrs. Crazy Wife [Sinopsis] Jeslyn Vega Altaraya, seorang CEO J.S Entertainment berusia 27 tahun, telah kehilangan rasa kepercayaan pada cinta setelah dikecewakan di masa lalu. Sepulang dari luar negeri, ayahnya menjodohkan Jeslyn dengan laki-laki be...