Jeslyn duduk sendirian di ruang pribadinya, di balik meja kerja besar yang dikelilingi oleh dinding kaca yang menawarkan pemandangan kota. Tangannya perlahan menyentuh permukaan meja, jemarinya bergerak seolah menggambar garis-garis halus yang tidak terlihat.
Pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu yang mulai merayap masuk. Kilasan kenangan bersama Thomas datang tanpa diundang momen-momen yang dulu manis, namun sekarang terasa pahit seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Matanya, yang biasanya tajam dan penuh percaya diri, kini tampak kosong, seolah fokus pada sesuatu yang tidak ada di hadapannya. Ada rasa sesak di dadanya, sesuatu yang selama ini ia tekan dalam-dalam, dan pagi ini muncul ke permukaan.
Jeslyn merasakan ketidaknyamanan yang membuatnya gelisah, mengingat saat-saat ketika Thomas meninggalkannya tanpa penjelasan. Setiap kata, setiap janji yang pernah terucap terasa seperti kebohongan yang mengiris hati.
Ruangan yang biasanya membuatnya merasa tenang kini justru menjadi saksi bisu dari pergolakan batinnya. Kursi empuk di bawahnya terasa semakin dingin, dan keheningan ruang itu seakan memperparah rasa sakit yang ia rasakan.
Jeslyn berusaha menenangkan dirinya, namun ingatan tentang Thomas, pengkhianatannya, dan semua kebohongan yang telah terjadi terus menghantuinya. Di balik semua kesuksesannya, luka itu masih ada, tersembunyi di balik senyuman yang ia tunjukkan pada dunia.
Flashback on
Jeslyn menatap layar ponselnya dengan cemas, jari-jarinya hampir gemetar saat menerima panggilan tak dikenal. Suara di ujung sana menyampaikan berita yang membuat hatinya berdegup lebih kencang.
Penggelapan dana? Perusahaannya disita? Kepalanya seakan berdentam keras mendengar tuduhan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Rasanya seperti mimpi buruk di tengah hari bahagianya, hari di mana dia seharusnya menikah.
"Bapak jangan bercanda!" Bentak Jeslyn dengan nada frustasi, mencoba menyangkal kenyataan yang baru saja menghantamnya. Namun, telepon itu diputus begitu saja, meninggalkan dirinya dalam kekesalan yang memuncak.
Wajahnya memerah menahan amarah, Ridho ayahnya, mendekat dengan kekhawatiran terpancar di matanya, "Sayang ini udah jam sembilan, apa nggak ada kabar dari Thomas?" Tanya Ridho dengan suara lembut, namun Jeslyn hanya mengabaikannya. Pikirannya sudah kusut, dan fokusnya hanya pada satu hal, panggilan itu dan dampaknya.
Dia mencoba menghubungkan nomor tadi lagi, tetapi kali ini sebuah panggilan lain masuk. Thomas. Dengan cepat, Jeslyn mengangkat teleponnya, berharap segala kebingungan ini akan terjawab.
Namun, harapannya hancur dalam hitungan detik. Thomas, dengan suara tenang namun dingin, memberi tahu bahwa pernikahan mereka tidak akan pernah terjadi. Pernyataan singkat dan tajam itu menusuk hati Jeslyn lebih dalam dari yang dia bayangkan.
Thomas akan meninggalkannya, bukan hanya di altar pernikahan, tetapi dari kehidupannya. Semua alasan yang Thomas berikan terasa seperti asap yang menghilang begitu saja, tanpa makna, tanpa perasaan.
"Thomas, kamu bercanda, kan?" Suaranya mulai bergetar, nyaris tak terdengar. Namun, sebelum ia sempat memohon lebih jauh, sambungan terputus. Dengan tangan gemetar, Jeslyn berulang kali mencoba menghubungi nomor Thomas, tetapi hanya ada suara mati di ujung telepon. Nomor itu sudah tidak aktif.
Air mata mulai mengenang di matanya, dan tanpa bisa menahannya, dia menatap ayah dan bundanya yang kini ikut khawatir. Bundanya, yang sudah mengetahui situasi perusahaan, mencoba menghibur dengan kata-kata lembut. Namun, Jeslyn menggeleng, seolah menolak kenyataan ini. "Ayah? Bunda?" Ucapnya lirih, suaranya penuh kekuatan dan ketidakpastian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mrs. Crazy Wife
Teen FictionMrs. Crazy Wife [Sinopsis] Jeslyn Vega Altaraya, seorang CEO J.S Entertainment berusia 27 tahun, telah kehilangan rasa kepercayaan pada cinta setelah dikecewakan di masa lalu. Sepulang dari luar negeri, ayahnya menjodohkan Jeslyn dengan laki-laki be...