Malam Minggu

35.1K 2.2K 39
                                    

Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Cedric...
Ah, tunggu, hubungan?

Baiklah, aku memang sejak awal tidak punya hubungan dengannya. Jadi bisa dibilang...
Aku jadi jarang bicara atau memperdulikannya lagi. Sejujurnya, aku menjadi takut dengannya.

Meskipun aku sudah tahu ia yang membantai Fluffy, tapi tidak ada yang mengetahuinya selain aku dan dia. Aku tidak berani bicara pada siapa-siapa.

Bagaimana kalau aku menjadi seperti Fluffy? Mengerikan, bukan.

Ah. Aku memang bodoh. Kenapa orang gila ini harus muncul di kehidupanku?

SRAK!

Aku terkejut, lamunanku buyar. Seseorang telah dengan kasar menarik kursi di sampingku.

Cedric.

Aku terdiam. Melihatnya saja tidak berani. Hari ini adalah hari sabtu, kami akan melaksanakan hukuman seminggu piket untuk yang terakhir kali.

Aku harap ini juga menjadi yang terakhir kali dalam hidupku.

Tentu saja Yuna dan Ryan tidak pernah piket. Mereka hanya muncul di awal ketika Bu Yin mengecek kami. Cedric juga, sejak kejadian itu ia tidak pernah piket lagi.
Hanya aku sendiri.
Aku tentu saja tidak berani memintanya untuk kembali menjalankan hukuman piket bersamaku.

Tak terasa, lonceng tanda berakhirnya sekolah dibunyikan.

"Haah, sungguh hari yang berat," desahku.
"Semangat ya," kata Clarisa.
"Trims."

Aku rasanya ingin segera pulang dan mengakhiri satu minggu yang kacau ini, namun, aku harus piket lagi.

Yah, mungkin akunya juga yang terlalu rajin.

Sekali lagi, hanya sisa kami berempat di kelas 11-8 itu. Bu Yin mengecek lalu berlalu, diikuti dengan perginya Yuna dan Ryan tentu saja.

Juga Cedric.

Tapi ternyata Cedric tetap diam di kelas dan mengambil sapu.

Hah. Sialan.

Aku mulai ketakutan, tetapi aku berusaha terlihat agar tidak terjadi apa-apa.

Aku menutup jendela, merapikan kursi lalu mulai menyapu.









"Maaf kemarin-kemarin aku tidak piket."

DEG!

Itu tadi suara Cedric?

Aku mengangguk pelan.

Cedric? Minta maaf? Apa aku tidak salah dengar?

"Karena aku tidak piket selama tiga hari, hari ini aku yang kerjakan semuanya. Kau duduk di sana saja," katanya lagi.

Bodohnya lagi, tanpa bersuara, aku mengikuti apa yang ia katakan.

Setelah menunggu beberapa lama, Cedric akhirnya selesai.

"Menurutmu kita perlu laporkan Yuna dan Ryan? Mereka sama sekali tidak ada piket," ucap Cedric.

Aku menunduk, tidak berani menatapnya. "Terserah kau saja."

"Kau tahu, Ibuku sangat syok ketika tahu aku dihukum. Dia menangis. Aku jadi merasa bersalah. Kau tahu, aku....," omongan Cedric terputus.

Tumben dia bicara cukup banyak? Apa kepalanya terbentur sesuatu?

Aku hanya diam.

"Ah, lupakan," sambungnya, lalu melesat pergi.

Sialan.

Dia hanya membuatku tambah bingung.

Siang pun menjadi malam. Dan ya.... ini sabtu malam. Malam minggu. Malam yang penting bagi muda-mudi yang sudah memiliki pasangan.

Aku?

Lupakanlah. Temanku bahkan hanya satu. Clarisa.
Semua orang di kelas entah kenapa menjauhiku. Kata Clarisa mereka iri karena Papa adalah pengusaha sukses. Bagi mereka aku ini hanyalah seorang anak tunggal yang manja. Mereka bahkan tidak percaya jika aku mendapat peringkat bagus, mereka berdalih aku membayar untuk mendapat peringkat itu. Padahal itu semua tidak benar.

Jadi....
Teman saja tidak punya.




Apalagi pacar.

Aku yakin Mama (dan Papa!) juga tidak akan setuju jika aku berpacaran. Mengingat sampai sekarangpun orangtuaku masih membatasi pergaulanku.

Aku berjalan ke balkon seperti biasa, ingin menghirup udara segar. Aku menatap langit, hanya ada lima butir bintang di sana.

Aku menatap pohon di dekat balkon. Sial. Aku jadi teringat kejadian itu.

Ada darah menetes dari sana.

Rasa takutku muncul lagi.

Aku melirik ke atap rumah Cedric.

Ah sialan.

Ternyata berada di balkon terlalu lama dapat mengembalikan ingatan buruk. Padahal niatku ke balkon untuk mencari udara segar.

Malah tambah stress.


"Kiara! Ada Ryan! Katanya dia mencarimu!"

Aku mendengar suara Mama dari lantai bawah.
"Ryan? Kenapa dia ke sini?" Aku bertanya-tanya. Aku menutup pintu balkon dan menuruni tangga.

"Ryan? Kenapa ke sini?"

"Kenapa kamu belum siap begitu? Kita mau jalan, bukan?" Kata Ryan.

"Hah, kau tidak pernah bilang?" Sanggahku.

"Ayolah, Ra. Ini malam minggu. Kau tidak keluar rumah?"

"Apa-apaan kau ini? Yuna tidak bersamamu?" Tanyaku.

Ryan menghela nafas. "Tidak," katanya.

"Kau... sedang berantem, ya?"

Ryan terdiam.

"Maka dari itu, kumohon temani aku. Malam ini saja. Ya?" Ia memelas.

Aku tidak bisa menolak. Ryan temanku sejak kecil. Orangtua kami sudah saling kenal.
"Oke. Tunggu."

Seperti yang sudah kuduga, Mama mengizinkan kami. Kalau bukan Ryan, pasti tidak akan boleh, begitu ucap Mama.

Ryan memakaikanku helm lalu aku duduk di jok belakang motornya.

Setelah melaju beberapa saat, kami sampai.

"Ini tempat favoritku dan Yuna," kata Ryan.

"Kau yakin membawaku ke sini? Ini, kan, tempat spesial untuk kalian berdua. Aku tidak seharusnya ke sini," ucapku tidak nyaman.

"Tidak apa-apa, tenang saja," kata Ryan.

"Uhm, iya. Tapi Ryan?"

"Ya?"

"Gandengan tangannya lebih baik dilepas saja," kataku, menunjuk tanganku yang dari tadi Ryan genggam.

--------
Don't be a silent reader.

Author's Note: dear readers yang baik dan tidak sombong, maafkan authors yang lambat update. Baca terus sampai habis ya

Psycho Boy [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang