Kedua bodyguard tadi akhirnya berhenti menyiksa Cedric.
"Sudah, bos," lapor salah seorang dari mereka.
"Ya ampun, tanggung!" Yuna memekik, "Kenapa tidak sekalian sampai mampus, saja?"
Darahku mendidih. Sialan, bagaimana kalau Yuna sampai benar memampuskan kami semua!?
Aku memberontak dari kursi yang posisinya kasihan ini.
"JANGAN BICARA SEMBARANGAN!!!"Yuna menatapku jijik. "Kenapa? Kenapa kau peduli pada Cedric?" Ia menginjak pipiku. "Kau ternyata memang murahan, Kiara. Baru putus dengan Ryan saja sudah perhatian dengan laki-laki lain!" Yuna menghela nafas.
"KAU TAK PANTAS UNTUK RYAN!"Yuna akhirnya pergi bersama bodyguard-bodyguardnya itu.
"Ingat, jauhi Ryan," desisnya, sebelum kembali membanting pintu gudang itu.
Kau bertanya ke mana sekuriti kami? Sudah jelas, pasti Yuna menyogoknya untuk pulang lebih awal.
Aku melihat Cedric tertatih bangkit, menghampiriku. Ia membetulkan posisi bangku dan melepaskan ikatan tanganku. Aku lalu melepaskan sendiri ikatan di tubuh dan kakiku.
"Cedric!" panggilku. Ia tak menghiraukan, terus berjalan tertatih ke arah pintu keluar.
"Ced!" Aku menyusulnya dan menahan tangannya.
"Lepaskan," ia menepisnya.
BRUAK!!! Ia terduduk ke lantai sambil memegangi perutnya yang kena tampar.
Aku melihat seragam putihnya yang menjadi kotor, lusuh, bahkan robek di beberapa bagian.
"Cedric!!" Aku ikut berjongkok di sebelahnya, panik. "Kau tak apa!?"
Wajah Cedric pucat, dilumuri keringat dingin. Rambutnya acak acakan dan ada luka terpatri di ujung mata dan bibirnya.
"Uuuhh...," ia mengatur nafasnya yang berat, "pulang saja sana, bodoh!"
Aku menggeleng kuat, mataku berair. "Kau pulang denganku. Aku memaksa."
Mobil jemputanku datang, aku menunutun Cedric ke jok belakang. Meskipun ia beberapa kali menepis tanganku dan bilang ia baik baik saja.
Aku pun masuk ke jok depan dan kami berkendara ke rumahku.
Aku tidak membiarkan Cedric langsung pulang ke rumahnya. Aku membawanya ke rumahku. Aku ingin mengobati luka lukanya.
Aku menyuruhnya untuk menunggu di kamarku. Meskipun awalnya ia berontak, aku berhasil meyakinkannya.
Aku mengisi baskom dengan air. Aku mengambil handuk kecil dan kotak P3K, lalu kembali ke kamarku.
Cedric duduk terdiam di pinggir kasur.
Aku membasahi handuk dan memerasnya. Lalu mengelap luka luka di wajah Cedric.
"Hei, bodoh. Kau yakin bisa mengobati luka? Mengurus diri sendiri saja tidak becus, huh," Cedric mencibir.
Aku menghela nafas. Terserah dia mau bicara apa.
"Bisa, aku dulu ikut PMR. Jangan panggil aku bodoh, namaku Kiara. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Yuna, tapi... terimakasih sudah datang," kataku lembut.
"Aku tidak datang untukmu, bodoh. Aku hanya kebetulan lewat," sahut Cedric ketus. "Jangan salah mengira."
Aku mengangguk. "Iya, maaf. Ini salahku."
Aku memberi obat merah di luka dekat matanya.
"Tapi kenapa kau tidak melawan? Padahal kau, kan, sadis."Bola mata Cedric melirikku. Ia menghela nafas.
"Kalau aku melawan, justru akan menimbulkan masalah baru. Yuna sangat berkuasa. Tempo hari, waktu aku berkelahi. Pihak sekolah menelepon orangtuaku. Lalu...," ia terhenti sejenak. "Ibuku menangis. Konyol rasanya, menyusahkan orang yang telah merawatmu," ucap Cedric.
Aku terhenyak. Sialan? Cedric itu orang yang seperti apa, sih!? Kenapa sampai sekarang aku belum bisa memahaminya?
Aku mengangguk pelan. Aku sadar aku sering menuntut ini-itu dari orangtuaku tanpa peduli seberapa keras mereka bekerja untukku.
Hmm, dari Cedric ternyata aku bisa belajar banyak."Padahal aku bukan siapa-siapa mereka," lanjut Cedric.
Eh? "Eh? Maksudmu?"
"Tidak. Lupakan saja," lanjut Cedric cepat.
"Aku tidak peduli apa masalahmu dengan Yuna. Tapi... kalian kenapa?""Tidak tahu... Yuna itu anak yang dimanja sejak kecil. Dia terbiasa mendapatkan apapun yang dia inginkan. Dan kalau ia tidak mendapatkannya, ia melakukan apapun seenaknya...," jelasku, seraya menempelkan plester luka ke kening Cedric.
"Aku tidak percaya masih ada anak yang lebih manja darimu."
Aku mendengus kesal. Aku ingin marah, tapi tentu saja tak pantas di depan orang yang baru saja...
Bisa kau bilang...
Menyelamatkanmu?"Sekarang buka bajumu," aku menunjuk tegas pada tubuh Cedric yang terbalut kemeja putih lengan panjang seragam sekolah kami.
"Heh? Apa?"
"Buka. Pasti banyak luka dibalik kemeja itu," ucapku lagi.
"Tidak mau," jawab Cedric singkat, padat dan jelas.
"Perlu aku yang membuka?" Tuturku lalu beringsut memegang kerah kemejanya.
"Hei! Aku tidak bilang begitu!" Cedric menepis tanganku.
Lalu ia menatapku sarkastik dan mendesis,"Ternyata kau ini.... agresif juga...."
DAG DIG DUG DAG DUG!!!!
Jantungku berdetak kencang. Sial!!! Kenapa dia bilang begitu!?
Aku menggeleng kuat, meredam wajahku yang merah karena perkataanya. "Aku tidak agresif!!!" Sosorku.
"Ya sudah, buka saja."
------
Please leave your vomment :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Psycho Boy [TAMAT]
Teen FictionKiara hanya ingin membuktikan pada semua orang dan dirinya sendiri, kalau Cedric juga punya hati. Cover by: _Ragdoll_ Chapter terakhir diprivate. Ikuti untuk membaca.