Perih

25.5K 1.7K 66
                                    

"Warna darahmu bagus," bisik Cedric.

Aku mundur beberapa langkah ke belakang.

Cedric berdiri dan mendekatiku.
"Aku ingin lihat lebih banyak."

"Bi...bicara apa sih!?" Seruku.
Sumpah,dia ini aneh sekali.
"Sudah malam, aku mau pulang! Kau juga pulang sana, hush hush!" Usirku.

"Warnanya beda dengan darahku...," SRAT! Ia menyayat telapak tangannya. Mengucurlah darah segar dari sana. Ia mensejajarkan telapak tangan berdarahnya dengan luka di lututku.

"Lihat, beda, kan?" Tanyanya seolah olah dia polos.

"Hei! Apa yang kau lakukan!" Aku menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam rumahku.

'Seperti biasa', aku mengambil kotak obat dan membersihkan luka Cedric.

Cedric hanya diam dan ketika aku melihat tatapan matanya, itu mengarah ke luka di lututku.

"Cedric!" Panggilku. Cedric tersentak. "Kenapa kau selalu melakukan hal aneh ini!?"

"Kau yang aneh. Kau sudah tahu kalau aku sering melakukan hal ini. Tapi kau selalu... mengobati luka-lukaku. Kenapa kau mau melakukannya?" Cedric bertanya balik.

"Aku cuma tidak bisa membiarkan seseorang terluka," jawabku.

"Setiap orang yang terluka?" Tanya Cedric. "Tanpa terkecuali?"

"Tentu saja," sahutku.

"Bagaimana dengan luka di lututmu?" Cedric menunjuk luka di lututku.

"Akan aku obati setelah aku selesai mengobatimu."

"Kenapa kau mengobatiku lebih dulu? Kenapa tidak kau obati dirimu dulu?" Tanyanya lagi.

"Cedric! Tidak perlu banyak tanya!" Tegurku. "Tanganmu sudah selesai. Kau bisa pulang sekarang. Dan jangan melakukan hal bodoh ini lagi, oke--"

SRET!

Cedric menarik kakiku yang terluka. Meletakannya di atas pangkuannya.

"Biar aku yang mengobatinya," ia menyentuh kakiku.

Aku salah tingkah. "Hei... tidak perlu, aku bisa sendiri!" Tolakku.

"Biar aku saja!" Paksa Cedric.

"K...kau tidak bisa!" Aku menggerakkan kakiku.

"Jangan bergerak!" Ia mencengkram kakiku.

Cedric mengambil botol alkohol lalu membuka tutup dengan mulutnya.
Bibirnya menyentuh tutup botol.

Keren.

Ia menuang alkohol pada selembar kapas lalu membersihkan lukaku.

"Ah... Cedric... pe... perih," ringisku.

"Perih?" Tanya Cedric. "Perih itu bagaimana?"

"Perih itu rasa sakit, tapi rasanya lebih ngilu."

"Oh, fuuuhhhh.... begini lebih baik?" Tanya Cedric setelah meniup lukaku.

Aku mengangguk.

"Aku akan pelan-pelan," ucap Cedric.

"Uhmnnn... aw," aku menahan rasa perihnya.

"Sebentar lagi, bertahanlah. Nah sudah," katanya.

"Te... terimakasih Cedric," ucapku akhirnya, lalu menurunkan kakiku dari pangkuannya. "Sekarang sudah malam. Kau sebaiknya pulang."

Cedric mengangguk. Ia pun membuka pintu dan keluar dari rumahku. Sudah malam. Aku juga sebaiknya cepat tidur.

Dengan agak pincang, aku memanjat tangga untuk ke kamarku di lantai dua. Kedua orangtuaku jelas sudah tidur.

Psycho Boy [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang