Si Manis Fluffy

36K 2.1K 33
                                    

Keesokan paginya, siswa siswi riuh rendah membicarakan kejadian kemarin.

Cerita itu cepat sekali tersebar.

Aku melihat beberapa siswa mengerubungi Nyonya Lian, perempuan tua yang menjaga sekolah ini.
Rasa sedih tergambar jelas di wajahnya yang banyak kerutan penuaan.

Aku menghapiri kerumunan itu.

"Fluffy satu-satunya teman di kehidupanku yang sebatang kara. Harusnya orang itu tidak perlu membunuh Fluffy. Apa masalahnya pada seekor kucing?" Ucap Nyonya Lian dengan nada sedih sekaligus sarkastik.

Aku merasa iba. Kuharap pelakunya cepat mengaku. Melaporkan pembunuhan kucing pada polisi menurutku juga konyol. Ah, pokoknya kami semua akan merindukan si manis Fluffy.

Bel masuk berbunyi. Aku pun menyadari kursi kalau di sebelahku kosong. Hari ini pun Cedric tidak masuk sekolah? Kemana ya, dia?

"Aku harusnya senang, kenapa malah mencari!" Seruku.

"Kau bicara pada siapa?" Tanya Clarisa.
Aku terkejut. Sial.

Bu Amy masuk mengajar biologi. Ah aku kurang suka dengan guru yang satu ini, kerjanya hanya memberi tugas pada siswa tetapi jarang menjelaskan materi.
Bu Amy pun kembali memberikan kami tugas, tak lama kemudian seseorang masuk menerobos pintu kelas.

"Hei, kenapa kamu terlambat!?" Maki Bu Amy.

"Maaf, bu."

Ah aku seperti kenal suara itu. Benar saja.

Itu Cedric.

Ternyata hari ini dia datang. Setelah diceramahi oleh Bu Amy, Cedric duduk di kursi paling belakang.
Kursi itu ditujukan untuk siswa atau siswi yang datang paling terlambat.

Akhirnya selama seharian itu aku tidak bicara padanya. Ketika jam istirahat, dia juga menghilang sehingga aku juga tidak sempat bicara padanya.

Lonceng pulang pun berbunyi. Kelas langsung kosong. Hanya sisa aku dan Cedric, tentu saja. Menjalankan hukuman piket. Ryan bilang hari ini ia dan Yuna merayakan 100 hari hubungan mereka, jadi mereka tidak bisa piket. Huh, itu sih cuma alasan murahan.

Karena hanya kami berdua yang piket, membersihkan kelas menjadi lebih lama dari biasanya.
Regu piket di kelas lain semuanya sudah selesai dan pulang, hanya sisa kami berdua di sekolah itu.

Seperti kemarin.


"Kemarin kau kemana?" Tanyaku, berusaha terlihat cuek.

"Kemana apanya?" Cedric terus menyapu.

"Kau kemarin tidak pulang sampai larut malam, kan. Orangtuamu mencari sampai ke rumah kami. Kau ini bikin repot!" Kataku.

"Oh, aku hanya main dengan teman-temanku. Lupa bilang ke orangtua karena handphone-ku mati," ungkap Cedric.

"Teman apanya? Memangnya kau punya teman?" Tanyaku sarkastik.

"Hei, jangan bicara sembarangan, ya!" Serunya.

"Ah...aku cuma mau tanya. Selepas piket kemarin, kau kemana? Kau tahu, kan. Kucing milik penjaga sekolah ini mati dengan mengenaskan?" Ucapku.

"Tidak tahu."

"Ayolah, kau pasti tahu sesuatu. Kau disana kemarin. Kau ke toilet, kan? Kau juga bawa pisau," ujarku. "Kau pasti tahu sesuatu!"

"JADI KAU MAU MENUDUHKU!!?" bentak Cedric. Ia melempar sapu yang dipegangnya.

"Tidak, bukan begitu!"

"Kau menuduhku, kan!? Kau menuduhku yang melakukannya?!" ulangnya.

"TIDAK!"

Aku mundur beberapa langkah namun terhalang papan tulis putih yang tergantung di dinding.

Cedric berdiri di hadapanku lalu
BRAKKK!!!!

Ia memukul papan tulis di sampingku. Aku menutup telinga.

"Apa-apaan, sih!" Teriakku.

Aku bersandar di papan tulis. Wajah Cedric hanya beberapa inchi dariku. Ia menaruh menyandarkan kedua tangannya di papan tulis di kiri-kanan sisiku. Aku terblokade.

Jantungku berdegup. Ini terlalu dekat.

Cedric memandangku dengan mata tajamnya, lalu berkata,

"Kalau aku memang membunuh kucing itu, memangnya kenapa?"

Rasa takutku memuncak. "Sialan!" Aku mendorong Cedric. Lalu lari menuju pintu keluar.

Sialnya, BRUAK!!!!

Cedric mendorong salah satu meja hingga jatuh dengan suara yang amat nyaring di sekolah yang sudah sepi ini. Aku terkejut setengah mati.

"Sialan, kau!!!" Teriakku.

Ia menendang meja itu hingga menutupi pintu masuk.

"Mau kemana kau?" Ucapnya.

Jantungku berdegup kencang. Bukan, bukan karena jatuh cinta. Tapi karena ketakutan.

Cedric memungut sapu yang tadi dilemparnya lalu berjalan ke arahku.

Aku terpaku. Tidak bisa bergerak.

"Ced? Kau ini tidak waras," ucapku gemetar.

"Kau baru tahu? Hahahahahaha," ia tertawa seperti maniak.





Aku harus lari! Satu.... dua.... ti....

"Anak-anak, sudah selesai piketnya? Kelas ini akan dikunci," ucap satpam sekolah yang tiba-tiba datang. Untungnya.

Cedric menaruh kembali sapu yang diambilnya, menggeser meja yang ia tendang menghalangi pintu keluar, mengambil tasnya.

Lalu pergi.

Aku bernafas lega. Kakiku gemetaran.

"Ups, hanya ada kalian berdua?" Tanya satpam sekolah. "Nona, bermesraan di sekolah itu dilarang."

Sialan. Aku sama sekali tidak bermesraan dengan Cedric.

Aku hanya diam, mengambil tasku lalu masuk ke mobil jemputanku.

Tapi aku tahu satu hal.












Cedric itu seorang psikopat.

---------
Don't be a silent reader.

Psycho Boy [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang