Enak

28.2K 1.6K 16
                                    

"Huwaa!! Gosong!" Pekikku. Rupanya api yang kupakai terlalu besar. Yah, gosonglah semur ayamku.
Aku cepat-cepat mematikan api.
Aromanya memang masih sedap. Tapi apa rasanya juga?

Aku terpaksa menuang masakanku yang agak gosong itu ke piring saji.
Apa Cedric akan menyukainya? Apa aku pesan antar saja ya?

Aku berjalan menuju meja makan dan menaruh masakanku di situ.

"Sudah masak, ya?" Cedric menghampiriku, duduk di salah satu kursi di seberangku. Kalau kalian bertanya, dia sudah memakai baju, kok.

"Iya, tapi... agak gosong. Apa kau mau pesan antar saja?" Tawarku.

Cedric langsung mengambil piring yang ada di meja makan, mengambil nasi lalu mengambil semur ayam masakanku. Semuanya ia letakkan di piringnya.

Ia berdoa sebentar lalu memakannya.

"Hm, enak?" Tanyaku.

Cedric memperlambat kunyahannya, lalu menelannya. Aku bisa melihat jakunnya bergerak ketika ia menelan.

Sepertinya aku....
Harusnya berhenti memperhatikan anatomi Cedric.

"Enak, kok. Meskipun agak gosong," katanya.

"Oh! Benarkah?" Mataku berbinar. Entah kenapa aku senang sekali. Jadi begini rasanya ketika orang yang kau sukai memujimu.

Eh, apa?

Ya, maksudku, aku memang menyukai Cedric sebagai teman.

Aku pun ikut makan dengan Cedric. Kami berdua makan tanpa bertukar kata lagi. Kami kelaparan.

"Kau sudah mengerjakan PR Matematika?" Tanyaku ketika kami sudah selesai makan. Cedric tadi menawarkan diri untuk mencuci piring jadi aku membiarkannya.

"Yang mana?" Jawab Cedric dari wastafel cuci. Ia mencuci tangannya lalu bergabung duduk di sofa denganku di ruang tengah.

"Yang ini," kataku dan membuka buku PR. "Aku sama sekali tidak mengerti."

Cedric mengambil buku itu dari genggamanku. Ia menatapnya sebentar dan mengambil pulpen dari atas meja. Ia juga mengambil secarik kertas dan mencorat-coretnya.

"Begini, kan? Selesai," katanya sekitar tiga menit kemudian. Tiga soal essai matematika dikerjakannya lengkap dengan cara. Sementara aku, membacanya saja tidak sanggup.

"Cepat sekali!" Pekikku. Ini aku yang terlalu bodoh atau Cedric yang terlalu pintar?
"Ka... kalau begitu, bisa kau ajari aku?"

Cedric bergeser untuk duduk lebih dekat denganku. Ia menunjuk sesuatu pada buku PR.

"Jadi begini...," jelasnya.

"Iya," aku mendengarkan ucapannya. "Oh begitu, hmmm. Oh iya. Benar, dicari dulu pangkatnya ya?"

Cedric selesai menjelaskan. Aku mengangguk, "Trims, aku jadi mengerti sekarang. Kau pintar sekali! Kalau dengan pak guru aku tidak mengerti, tapi denganmu aku jadi paham!" Seruku.

"Begitu?"

"Iya," ucapku lalu menoleh ke arahnya. Tapi...

DEG!

Jarak kami terlalu dekat. Aaakkkhh aku baru sadar, dari tadi lengan kami menempel, dan sekarang wajah kami hanya berjarak sekitar 10 sentimeter...

Aku segera menjauh, dadaku tetap berdegup kencang. Wajahku merah, aku salah tingkah. Sialan, ini terjadi lagi.

"Ehm, iya begitu!" Kataku cepat.

Cedric hanya diam.

Aku melirik jam dinding. "Hoooammmh," aku menguap. "Sudah malam, aku mengantuk. Ah, mari kutunjukkan kamar tamu."

Aku beranjak dari sofa. Cedric meraih ranselnya dan mengekorku.

"Nah, ini kamar tamu. Memang jarang dipakai. Tapi sering dibersihkan, kok," jelasku. "Masuklah!"

Di dalam kamar tamu ada kasur untuk satu orang, sebuah meja kecil tempat lampu meja serta sebuah lemari bercermin.

Cedric meletakkan ranselnya di lantai.

"Nah, apa kau perlu sesuatu lagi? Mau selimut atau bantal tambahan?" Tawarku.

Cedric tak merespons. Aku menatapnya. "Cedric?"

Wajahnya pucat, ketakutan memandang foto ukuran besar yang dipajang di dinding di atas kasur.

"Cedric! Kenapa?" Seruku.

"Foto itu...," suaranya tercekat.

"Iya, foto itu foto ayahku ketika mengunjungi panti asuhan. Panti Asuhan Bina Kasih. Lihat, ada tulisannya. Aku menunjuk ke arah plang yang terdapat di foto itu, dibawahnya terdapat beberapa orang dewasa termasuk ayahku, berbaris. Serta anak-anak panti dengan senyum dipaksakan.

"Panti Asuhan Bina Asih katamu?" Ulang Cedric, ia terlihat tegang dan makin pucat.
"Bisa kau... singkirkan foto itu dari kamar ini? Bu.. buang foto itu!?"

Ih Cedric kenapa, sih? Anehnya kambuh lagi, ya?

"Kenapa harus dibuang?" Tanyaku.

Cedric menggeleng gusar. "Aku tidak mau ada foto itu di sini!"

Aku makin bingung. Aku menaiki kasur dan berjinjit untuk meraih foto itu.
"Tidak bisa Ced, fotonya dipaku ke dinding."

"Kalau begitu, aku tidak perlu tidur di sini!" Ia langsung mengambil ranselnya dan keluar kamar.

"Ah, tunggu!" Kataku lalu keluar dari kamar itu juga.
Ketika aku keluar Cedric langsung membanting pintu menutupnya. "Hei, kenapa? Kamar tamu yang lain belum dibersihkan!" Kataku.

Cedric berjalan cepat ke ruang tengah. Ia melempar ranselnya ke sembarang arah.
Ia lalu memegangi kepalanya, ketakutan. Ia menggeleng panik. "Tidak... tidak mungkin! Itu datang lagi! Uukhh... tidak bisa begini!" Ia mengacak acak kasar rambutnya sendiri.

"Cedric! Kau kenapa!" Teriakku panik dan menghampirinya. "Tenanglah!"

Cedric akhirnya berhenti. "Tidak apa-apa, fuhh," ia bicara pada dirinya sendiri. "Mereka tidak akan kembali lagi."

Aku semakin kebingungan. "Mereka siapa yang kau maksud?"

Cedric menggeleng. "Malam ini aku tidur di sofa saja. Kau pergilah tidur," ucapnya.

"Kau yakin?"

"Iya."

Aku pun menuruti perkataannya dan naik ke kamarku di atas.

Oh Tuhan, apa lagi yang terjadi dengan Cedric?

Kenapa begitu sulit untuk memahaminya?

--------

Hiiihhh kenapa tuh si Cedric? Jangan jangan.... tuh foto berhantu???

Auk ah gelap xD

Vote dan Comment kalian sangat menentukan nasib Cedric dan Kiara (dan author) xD makasih dah baca sampe sini...

Psycho Boy [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang