"Aku-"
Terdapat keraguan di pandangannya. Haris dengan setia menunggu apapun yang akan dikatakan oleh Dila.
"Err.. Bagaimana mengatakannya."
Dila mengusap tengkuknya ragu. Ia lalu mengangkat pandangannya. Menatap Haris tepat di mata elangnya.
"Sejujurnya, aku tak bisa mempercayai lelaki."
Ucapan singkat yang membuat Haris berjengit.
"Aku tahu ini terdengar janggal. Don't misunderstanding okay? Aku hanya- aku kesulitan untuk mempercayai lelaki."
Dila menatap jauh mata menusuk itu. Haris kehabisan kata-kata.
"Jika kau bersedia untuk membuatku kembali membangun kepercayaan pada lelaki. Aku sarankan untuk menerima perjodohan ini."
Dila menundukan pandangannya. Ia tahu tak ada lelaki yang sanggup untuk menerima kekurangannya ini.
Inilah yang selalu Dila ajukan ketika bertemu dengan calon suami dari ajang perjodohan Ayahnya itu. Mengenai kepercayaan itu sendiri. Kekurangan yang membuatnya ragu untuk membuka hati pada siapapun pemuda yang berusaha mendekatinya.
Akankah aku mempercayainya?
Akankah aku mencintainya kelak?
Akankah ia menjagaku dan tidak menyakitiku?
Semua pertanyaan serupa yang selalu mengganggu kehidupan percintaan Dila. Ia mengakui bahwa itu terlihat dramatis. Namun itulah kenyataannya. Kenyataan yang selalu Dila sembunyikan dari seluruh keluarganya. Terkecuali Lina dan Yuni.
"Aku... aku takut tak bisa membuatmu percaya."
Satu kalimat itu mampu menghilangkan seluruh harapan Dila pada Haris. Pandangannya terjatuh pada kesepuluh jarinya yang kini saling bertautan.
"Well then...You're not helping me at all."
Raut wajah Dila penuh dengan kekecewaan. Kesedihan, keraguan, kesepian, terlihat kental di pandangannya. Ia tersenyum kaku pada Haris. Lalu sedikit membungkukkan diri untuk permohonan maaf.
Dila menolak perjodohan ini. Begitu juga Haris yang memiliki pendapat sama.
***
Malam hari setelah Haris menolak dengan baik-baik perjodohan mereka tentunya terasa hening. Dila masih mengingat ekspresi Ayah dan Ibunya yang shock karena pada awalnya Haris memang terlihat begitu antusias mengenai perjodohan ini.
Dila yang berada di samping Haris pun kembali ke samping ayahnya. Menunduk penuh penyesalan.
Dila mengangkat kedua lengannya di udara. Kamar masa kecilnya tak ada yang berbeda. Masih berwarna biru, dengan meja belajar disudut ruangan.
Kenangannya masih begitu mengingat bagaimana berantakannya meja belajar itu saat ia SMA. Begitu banyak peralatan disana. Tumpukkan buku pelajaran, alat-alat gambar, dengan kertas-kertas sketsa yang tertempel di dinding.
Dila tersenyum. Kebiasaannya saat SMA adalah duduk di depan meja belajarnya semalaman dengan rambut bagaikan singa, juga kacamata yang selalu ia gunakan saat menggambar.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam dan Dila masih enggan untuk terlelap. Samar-samar ia mendengar suara lengkingan Ibunya. Dila mendekatkan diri pada pintu. Membukanya secara perlahan, berjalan mengendap-endap ke arah kamar Ayah dan Ibunya yang cukup jauh.
'Jangan pernah bicarakan hal buruk tentang Dila!'
Suara ayah menjadi lebih jelas. Lagi-lagi mereka membicarakan tentangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...