10. Itu bercanda bukan?

1K 69 16
                                    

"Mama..."

Suasana sunyi khas Rumah Sakit begitu kental. Cat putih di setiap sudut ruangan menambah kesan halus dan tentram. Dengan perlahan Dila menghampiri Ibunya yang kini tersenyum lebar di atas ranjang. Menyandar pada tumpukan bantal yang terlihat empuk dengan wajah yang tak terlalu pucat. Itulah Ibu Dila, Ibu kandungnya. Seorang wanita yang menjadi acuan Dila dalam menjadi wanita idaman.

"Maaf Dila terlalu sibuk dengan pekerjaan, sampai tak sempat datang menjenguk Mama sejak minggu kemarin." Dila duduk dan menaruh satu vas bunga lily favorit ibunya.

"Mama tahu, anak gadis Mama ini sibuk." Ada nada ejekan bercampur tawa di sana. Dila mengangguk senang ketika melihat Ibunya yang baik-baik saja.

"Ada masalah bukan?" Dila merespon dengan satu lirikan mata.

Beruntunglah kamar ini VIP. Hanya mereka berdua yang berada di ruangan ini. Dila bahkan memilih pulang lebih awal untuk bertemu dengan Ibunya. Ia merasa bersalah karena tak dapat menjenguk lebih cepat.

Di saat hening, dengan Ibunya yang menatap intens, Dila tahu bahwa ia tak akan bisa untuk menjelaskan keluh kesahnya. Hari minggu nanti Ibunya akan menjalani operasi, ia tak bisa memberikan beban lain untuk ibunya.

"Jangan pikirkan masalah kau yang baru saja datang menemuiku hari ini. Mama bahkan malu karena kamu harus menanggung semua biaya ini." Terdengar helaan napas panjang.

"Kau sudah membiayai Mama berobat, operasi, juga rawat inap di ruangan ini. Belum lagi membiayai kuliah Adi juga satu orang dari panti asuhan itu. Membiayai Denia untuk bersekolah. Bagaimana dengan kehidupan sehari-hari mu itu Dila?"

Usapan demi usapan terasa di puncak kepala Dila yang kini menunduk. Ia pikir, benar juga, banyak sekali yang harus ia biayai. Sudah 4 bulan ia tak berkunjung ke panti asuhan. Selama ini ia terlalu gila kerja hingga melupakan waktu untuk tenang dan santai.

"Baik-baik saja. Dila tulang punggung keluarga sekarang, itu tanggung jawab Dila." Dila berusaha meyakinkan Ibunya. Ekspresi Ibunya begitu datar, benar-benar seakan tak ada apa-apa.

"Sepertinya kamu masih memiliki halangan untuk menyukai pria bukan?" Kembali tatapan misterius itu tertuju pada tatapan mengintimidasi Dila.

Wanita berusia 47 tahun yang kini berada di hadapannya tahu betul bahwa Dila memiliki sebuah ketidaksukaan yang spesifik ditujukan pada pria di luar sana. Kerap kali ia mengatakan bahwa sesungguhnya tak semua pria itu berengsek. Namun 3 pria yang ia sukai membuktikan bahwa hampir semua pria itu sama. Hampir.

"Perceraian antara Mama dan Papa jangan dijadikan sebuah alasan untuk sulit mencintai pria, Maulin," jedanya. "Ini jalan yang Papa kamu pilih, Mama senang, Papa senang." Jawaban enteng itu agaknya membuat kening Dila mengerut.

"Tidak pernah. Dila hanya... hanya sulit." Kalimat itu berujung dengan sebuah ke ambiguan berlebih.

"Berhentilah memendam rasa benci pada Papa mu Dila." Sayup-sayup kalimat itu terdengar di gendang telinganya. Bahkan untuk saat ini otaknya dipenuhi begitu banyak hal. Ia tak bisa fokus pada satu masalah.

"Tidak, Ma, aku tidak pernah benci Ayah," Ia merengut, berniat untuk melanjutkan kalimatnya.

Sorot mata yang penuh intimidasi itu berubah menjadi sayu. Dila si perfeksionis, yang begitu asik, disukai banyak orang, ternyata begitu terikat dengan masa lalu kelamnya. Ruang sunyi ini kembali mengingatkannya pada kamar yang ia tempati di masa kecil.

Begitu sunyi, dingin, mencekam, hingga terkadang khayalan-khayalan mengenai bagaimana cara membunuh anggota keluarganya muncul di kepala kecil Dila yang berumur 8 tahun. Ia memiliki trauma berkepanjangan, yang membuatnya memunculkan berbagai macam topeng. Melindungi diri dari apa yang bisa menyakiti hatinya. Bersikap angkuh agar tak dipermalukan.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang