25. Kawan Lama

770 53 4
                                    

Dila melambaikan tangannya. Memberikan salam perpisahan pada Ibu Rivan yang diseret secara paksa oleh Rivan karena ia tetap berpikir bahwa ibunya menganggu waktu istrahat Dila. Terlebih saat Dila mengatakan bahwa ia akan pergi ke kantor esok hari. Ia sudah kembang kempis tak karuan mengingat betapa buruknya kondisi Dila saat berada di gendongannya.
Dila menang kali ini.

Sebenarnya ia masih memiliki jadwal lain. Kebetulan sekali ia dapat cuti karena Rivan meminta Dila untuk dicutikan. Sungguh ia harus berterima kasih pada Rivan di lain waktu. Mungkin ia akan membuatkan sesuatu yang spesial. Seperti makanan atau apapun itu. Ia tak bisa memutuskan. Ia masuk ke dalam rumah untuk membawa mantel dan tas beserta kunci mobil. Ia memastikan sesuatu yang seharusnya ia lakukan saat hari minggu. Namun jadwal yang tertera di memonya adalah ia harus menghadiri acara reuni bersama teman seperjuangan saat SMA.

***

Pandangannya menelisik setiap sudut dari box yang berada di hadapannya. Apel-apel yang terlihat begitu segar dan menggoda. Perhatiannya tetap tertuju pada setiap apel yang menghasilkan sebuah cahaya di mata Dila. Hatinya begitu bimbang untuk memilih apel mana yang akan ia beli. Apel fuji biasanya adalah apel yang akan pertama kali ia beli. Karena rasa yang begitu unik dengan tekstur yang renyah. Tak kelewatan juga dengan apel royal gala yang kemudian akan ia beli. Juga apel malang tak akan pernah terlewat dari list apel favoritnya. Lagi pula tiga jenis apel itu memang mudah didapat.

Namun ia dihadapkan dengan sebuah pilihan yang sulit. Ketiga apel yang ia favoritkan berada di rak yang berdekatan dan juga sama-sama terlihat segar. Ia tak mungkin membeli ketiga jenis apel tersebut secara bersamaan. Terlebih ia hanya tinggal sendiri di rumah. Untuk apa membeli tiga jenis apel itu jika nanti hanya akan membusuk? Nafsu manusia yang memang tak tertahankan.

Ia yang dilanda bimbang tak memikirkan apapun selain hal itu. Seseorang di sampingnya berdeham cukup keras. Dila pikir ia menghalangi jalan untuk orang asing itu, tanpa pikir panjang ia maju satu langkah lebih dekat pada apel-apel impiannya seraya mengusap dagu gusar.

"Permisi."

Oh, ia pikir pelanggan asing itu menyebalkan. Suara dehaman juga nada yang terlontar saat seseorang itu berbicara terdengar sama. Sosok jangkung yang memiliki dada bidang dengan dibalut kaos putih polos dan jaket biru tua. Memberikan kesan yang kalem namun tetap elegan. Jangan berpikir bahwa Dila tahu hal itu karena ia menatap seseorang yang asing itu cukup lama, ia baru saja melihat tubuh pria itu. Hanya beberapa detik saja sebelum akhirnya ia melemparkan tatapan memuja pada apel-apel yang tetap saja dapat mengalihkan perhatian Dila.

Dila kembali mendekat satu langkah ke arah apel. Membiarkan pria itu lewat di belakangnya. Namun tak seperti yang diharapkan, pria itu hanya diam di tempatnya. Lalu ia mendengar suara kekehan yang sama seperti nada menjengkelkan itu. Dila mengangkat pandangannya, bertatap muka dengan pria menyebalkan itu.

"Dila bukan?"

Pria itu, yang kini sedang menatap Dila dengan tatapan hangat, memiringkan kepalanya dan menunjuk Dila tepat di hadapan wajah. Satu tangannya ia gunakan untuk menggendong seorang gadis kecil.

Dila berkedip beberapa kali. Tak pernah terbesit sebuah pemikiran bahwa ia akan disapa dengan begitu menyebalkan oleh orang asing yang dengan percaya diri memanggil namanya. Matanya menyipit. Otaknya mencoba untuk mengingat siapa pria itu. Wajahnya memang tak asing namun tetap saja ia tak mengenalnya.

"Aku Fadli."

Sontak mata Dila membulat. Tak menyangka ia akan bertemu dengan sosok idola masa SMA yang selalu menjadi obrolan para gadis dan menjadi sorotan guru itu.

Pria itu Fadli, teman semasa SMA yang juga menjadi teman kecil Herlambang. Sahabat yang seharusnya akan bertemu dengan Dila minggu depan.

Tubuhnya tinggi dengan dada yang lebar. Ia adalah mimpi terliar dari semua wanita. Memiliki tubuh yang ideal dan otak yang begitu encer. Tak ada yang bisa di bandingkan dari Fadli. Semua keberuntungan berada di tangannya. Dila yang terkejut segera menyentuh pundak Fadli dan tanpa sadar mendorongnya. Ia benar-benar tak percaya dengan hal ini.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang