26. Satu Petunjuk

704 46 1
                                    

“Aku tahu...”

Dila memalingkan wajahnya. Waktu yang sudah cukup sore membuat Ibu beserta antek-anteknya memilih untuk pulang. Memberikan Dila waktu beristirahat agar dapat kembali fresh ketika berada di kantor. Kalimat yang menggantung itu tak Fadli teruskan. Lalu Dila mengangkat sebelah alisnya, begitu skeptis mengenai apa yang akan Fadli katakan.

“Tahu.. mengenai apa?”

Dila berkedip beberapa kali lalu akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.

Fadli hanya mengekor dan diam seribu bahasa. Dila tahu bahwa pria itu sedang memikirkan kata apa yang pantas untuk diucapkan kepada Dila Maulin Sucipto. Si gadis yang pandai bermain kata. Adel sendiri terlelap di kamar tidur tamu. Seperti biasa, seorang anak kecil yang sudah memakan makanan yang manis akan cepat mengalami kantuk berat.

“Ada sesuatu yang menganggumu bukan?”

Langkahnya terhenti. Kembali ia menghadapkan tubuh pada Fadli yang kini menatapnya lurus-lurus. Tatapan yang dirasa menusuk itu di balas dengan tatapan yang lebih menusuk. Dila menyelidik bahasa tubuh Fadli. Ia mengembuskan napas lelah dan menunjuk ke arah ruang tangah dengan dagunya. Seakan memerintahkan Fadli untuk mengikutinya. Ia tahu bahwa Fadli akan menyadari apa yang tengah ia rasakan. Baik itu secara terbuka maupun yang sudah ia tutup-tutupi.

“Bisa tolong elaborasi apa yang baru saja kau katakan?” Dila duduk mendahului Fadli.

“Pasti ada sesuatu yang mengganggumu selama 2 atau 3 minggu ke belakang.”

Dila tak merespon, hanya memandang Fadli dengan default expression.

“Tidak juga.”

Dila hanya tersenyum dan bersandar. Memperhatikan Fadli yang kini tengah menatapnya dari atas hingga bawah. Memastikan spekulasi yang sudah ia pikirkan tak ada yang salah. Lalu ia terkekeh.

“Baiklah, sepertinya kau melupakan fakta bahwa aku adalah seorang observan.”

Fadli mengusap wajahnya gusar. Ia baru mengingat fakta itu. Tak bertemu dengan Dila selama hampir 9 tahun membuatnya tak terlalu ingat bagaimana watak tersembunyi seorang Dila.

“Pantas saja.”

Aku sulit untuk melihat apa yang saat ini kau rasakan. Namun dari garis mulutnya, aku tahu gadis ini sedang menghadapi masa sulit.

“Aku tahu kau tak mengingat hal ini. Well, bagaimana dengan kuliah mu di Amerika?” Sekali lagi Dila tersenyum dan meneguk minumannya.

“Terima kasih padamu karena akhirnya aku dapat menyelesaikan kuliah di sana dengan lancar. Bagaimana kehidupanmu?”

Fadli melakukan hal yang sama seperti Dila. Meneguk minumannya dengan gesture yang sama.

“Pernah lebih baik dari sebelumnya...”

Nadanya menggantung, Fadli tahu bahwa Dila ingin melanjutkan apa yang akan ia katakan. Namun semuanya terhenti karena Dila ahli dalam menahan perasaannya. Namun nada yang ia keluarkan itu, nada itu penuh dengan rasa canggung yang bercampur dengan sesal yang kental.

“Sebelumnya aku belum menanyakan hal ini, namun, bagaimana kabarmu?”

Fadli, dengan suara yang ia pelankan, mencoba untuk membuat suasana sunyi dengan unsur nyaman agar Dila membuka hatinya untuk mengatakan apapun yang ingin ia katakan.

Saat itu juga, Dila menghentikan apapun yang ia lakukan. Fadli dapat melihat bahwa pintu yang sulit untuk dibuka secara mendadak itu memberinya sedikit celah untuk dapat masuk kedalam. Perasaan Dila yang selalu di kunci erat jika gadis itu sendiri tak mengijinkannya.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang