Rivan kalap ketika ia menyadari bahwa terus memikirkan Dila secara berkala. Apapun yang ia lakukan selalu mengingatkannya pada gadis itu. Bahkan ketika ia pulang ke apartemennya pun, ia bisa mengingat Dila yang melihat tumpukan CD dan novel romance. Jangan salah sangka, saat itu ia meminjam benda-benda itu karena ia ingin menjadi sosok pria yang romantis bagi Dila. Seakan ada dorongan untuk memberikan yang terbaik pada Dila.
Maka ini adalah titik tertinggi kerinduannya pada Dila. Sebelum ia pulang ke apartemen, ia selalu memutar arah ke rumah Dila. Berharap ketika ia sampai di sana, ia bisa melihat halaman dan teras depan yang bersih dan rapi. Menunjukkan bahwa Dila berada di dalam rumah itu. Namun hasilnya selalu sama, halaman rumah itu berdebu. Bertanya pada Desi pun sangat percuma. Ia begitu menyesal tak memiliki foto dirinya dengan Dila.
Hm?
Tunggu...
Ia memiliki satu foto yang ditujukan untuk menipu ibunya. Foto di mana Dila memeluk tubuh kekarnya dari belakang itu. Sudah lama sejak terakhir kali ia melihat foto itu di apartemennya. Lalu ia ingat kembali bahwa figura foto itu berada di ruang kerjanya. Bibir tipisnya terangkat dan menunjukkan senyuman yang lebar. Mata elangnya menyipit tanda ia tersenyum begitu senang. Ia tak sabar untuk kembali ke apartemen dan masuk ke ruang kerjanya.
Walaupun begitu, ia tetap menelusuri dokumen yang berada di tangannya dan memberikan cap persetujuan.
"Pak Rivan, saatnya pulang." Sekretarisnya berseru dari luar.
Kemudian dalam waktu yang singkat, jas sudah menyelimuti tubuhnya yang bidang itu. Ia merapikan sedikit dasi nya lalu mengusap rambutnya yang masih rapi. Menepuk-nepuk bahunya kemudian membawa tas kerja di atas meja. Ia berjalan cukup cepat untuk mencapai lift.
Dring... Dring...Salsabila
"Assalamualaiku— Bil, ada apa? Kenapa menangis?"
Rivan mencapit ponselnya dengan bahu lalu ia menekan tombol lantai yang ia tuju.
"Mama, Kak."
Terdengar lagi isakan yang kuat. Secara tak sadar wajahnya memucat, ketakutan jika terjadi sesuatu pada Ibunya.
"Hei, tenang. Ada apa?"
Rivan mendengarkan setiap kata yang Salsabila ucapkan. Perlahan wajahnya memucat. Rasanya lift menjadi begitu sempit dan tak ada oksigen yang bisa ia terima di paru-paru. Tubuhnya berkeringat dingin dan ia mual secara mendadak. Di sekelilingnya berputar dan ia ingin muntah saat itu juga. Jujur ia benar-benar panik.
Saat pintu lift terbuka, ia segera berlari.
***
Napasnya terengah-engah. Rambut yang selalu rapi itu kini terlihat acak dengan beberapa helai yang berdiri. Dasi sudah ia lepaskan dengan paksa dan satu kancing kemejanya terbuka karena ia kesulitan untuk bernapas pada situasi seperti ini.
Ibunya mengalami kecelakaan beruntun bersama Hardi yang beruntung segera dibawa ke Rumah Sakit. Ia menggigit ujung bibirnya untuk menahan segala rasa yang berkecamuk. Ia sudah mengecewakan Ibunya dan belun sempat menjelaskan mengenai hubungan antara Dila, Amara, dan dirinya. Namun bagaimanapun ia adalah kakak laki-laki bagi Salsabila, maka ia harus tangguh dan tak boleh menunjukkan rasa takutnya."Kakak!"
Salsabila segera berlari dan memeluk dirinya yang baru saja datang. Laura tak membawa anak-anak dan menundukkan wajahnya dengan beberapa helaian rambut yang basah sebagai menutupi setengah wajahnya. Ia memeluk Salsabila dan mengecup puncak kepala adik kecilnya itu dengan sesekali menepuk ringan punggungnya. Tangisannya memang tak berhenti namun setidaknya tak sekencang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...