"Jadi hari ini kita akan melakukan tes kesehatan menyeluruh untuk mengetahui apakah ada penyakit menular di dalam tubuhmu atau tidak."
"Kami juga akan memeriksa kondisi otakmu dan memastikan semuanya baik-baik saja."
Pembicaraan baru dimulai kembali oleh dokter lain dan Dila hanya duduk manis di atas ranjang menjadi seorang pendengar yang baik. Hari ini ia tidak di izinkan untuk makan dan minum karena pemeriksaan menyeluruh yang harus ia lalui sebelum ia berangkat ke Jepang. Fadli dan Maya berada di dalam ruangan ikut tersenyum ketika Dila secara jelas menunjukkan bahwa ia ingin sekali semuanya cepat selesai.
"Dila, bagaimana kabarmu sayang?"
Pandangan mata Dila kini beralih ke arah pintu. Ibu dan Ayah Fadli melangkah kedalam ruangan dengan senyuman lebar yang terukir di wajah mereka. Ibu Fadli menghampirinya dan membawanya kedalam pelukan. Dila merasakan kehangatan di setiap pelukan Ibu Fadli dan tentunya ia senang dengan hal itu. Ayah Fadli juga mendekatinya dan mengacak rambut Dila layaknya sosok Ayah yang selalu Dila butuhkan.
"Ku lihat kau berkembang cukup baik. Tak ku sangka kemampuanmu berbicara dapat meningkat cukup pesat."
"Itu karena dukungan kalian."
Ibu dan Ayah Fadli saling menatap satu sama lain dengan mata yang membulat. Tentunya terkejut dengan kemampuan Dila sekarang.
"Bagus sekali. Kita akan memulai prosedurnya sebentar lagi."
Dengan begitu Ibu dan Ayah Fadli pamit beserta seluruh dokter yang akan melayaninya. Ruangan menjadi lebih luas dan Dila bisa bernapas dengan lega. Di ruangan hanya tersisa dirinya bersama Fadli karena Maya harus mengikuti rapat bersama dokter lainnya.
Fadli duduk di samping ranjang dengan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya. Dila meliriknya dan mengangkat sebelah alisnya lalu menutup wajah Fadli dengan telapak tangannya. Pria itu dengan anehnya tertawa membuat Dila kebingungan.
"Bukankah ini selangkah lebih dekat? Minggu depan kau akan pergi dan kau dapat melakukan hal-hal yang ingin kau lakukan."
Tangan Dila kini berada di genggaman pria itu. Dila hanya menatapnya datar tanpa mengatakan apapun. Ia kini tak menyesal dengan segala hal yang sudah terjadi, namun ia tak merasa begitu bahagia. Seakan ada sesuatu yang masih tertinggal. Sesuatu yang seharusnya ia bawa namun ia lebih memilih untuk melemparnya jauh-jauh.
"Kau ingat surat-surat yang kau berikan padaku?"
Nadanya menjadi lebih serius membuat Dila sadar dari dunianya. Ia kembali menatap Fadli yang kini berekspresi serius. Dila hanya mengangguk dan menampilkan ekspresi penuh pertanyaan. Pria itu menghela napas panjang dan memberikan usapan pada telapak tangan Dila yang sejak tadi ia genggam.
"Aku akan memberikan surat itu sesuai nama yang tertera di dalamnya."
Kini bagian Dila yang mengembangkan senyuman dan membalas usapan tangan Fadli. Pria itu memberikannya senyuman kecil ketika mengetahui Dila senang dengan apa yang akan ia lakukan pada surat-surat itu.
"Aku pikir aku harus menyertakan hadiah."
"Seperti?"
"Spesial, untuk mereka seorang."
"Maksudmu hadiah itu berbeda-beda setiap orangnya?"
"Itu maksudku."
Fadli mengangguk tanda mengerti. Ia senang jika Dila kini secara terbuka menyatakan apa yang ada di pikirannya. Terbukti dengan tumpukan surat yang Dila tulis untuk banyak orang. Tentu saja ia tidak membacanya karena itu adalah privasi. Namun itu merupakan perkembangan yang bagus.
"Aku hanya ingin menyampaikan bahwa kau adalah orang yang istimewa. Jangan pernah ragukan itu."
Dila lagi-lagi dibuat terkejut oleh pernyataan Fadli yang selalu muncul secara tiba-tiba. Dila memandang pria itu secara penuh. Ia memperhatikan tiap garis wajahnya yang tajam. Kemejanya yang terlihat sangat rapi juga rambutnya yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat maskulin terlebih dengan bentuk badan yang berada di balik kemeja itu. Wajahnya terkena hamparan sinar matahari dan kini terlihat lebih rileks dari biasanya. Biasanya Fadli sering terlihat kusut terlebih jika Dila mengalami waktu-waktu sulit. Itu membuatnya bersalah.
"Semua yang terjadi bukanlah salah mu dan maaf aku tidak memberitahu mengenai Caroline dan Maulin."
Garis wajahnya menjadi lebih dalam menampilkan sesuatu yang sangat menyulitkan Fadli. Pria itu nyatanya masih merasa bersalah dan Dila memang secara gamblang merasa kecewa pada Fadli saat itu. Ia merupakan seseorang yang sangat Dila percaya namun ternyata pria itu tidak memberitahukan hal yang sangat fatal mengenai kondisi mentalnya. Itu membuatnya sulit untuk menyergap kenyataan mengenai kepribadiannya yang lain. Namun setelah ia membaca rekam medis yang sesungguhnya, ia sadar mengapa Fadli dan terlebih Pak Tsunemori memilih untuk bungkam mengenai hal itu.
"Kita sudah membicarakan hal itu. Aku meminta maaf juga padamu."
Fadli mengangkat pandangannya dan kini sepenuhnya menatap kedua mata Dila. Dila bisa melihat adanya percikan rasa bahagia dan Dila senang mengetahui hal itu.
"Setelah ini, setelah semua prosedur ini, kau bisa bersantai di rumah. Membuat kue, biskuit, atau makanan-makanan yang ingin kau buat. Aku, Ayah, Ibu, dan bahkan Pak Tsunemori akan berusaha untuk membuat semuanya lancar."
Dila terkekeh saat Fadli berbicara penuh penekanan dan seakan ia sedang berpidato seperti itu.
"Jadi kau akan ke Jepang juga?"
"Ya, aku kebetulan sekali diundang menjadi bagian periset di Tokyo University."
"Waw, kau populer juga ternyata."
Sindiran Dila membuat Fadli tersenyum miring dan mengacak rambut Dila. Dila sendiri hanya memukul lengan Fadli dan mereka terkekeh bersamaan.
"Aku pikir ini sudah saatnya."
Dila menunjuk suster yang masuk ke dalam ruangannya. Fadli berdiri, mempersilahkan mereka mendorong ranjang Dila menuju ruangan yang akan menjadi tempat pemeriksaan Dila secara menyeluruh.
"Rileks saja, semua akan baik-baik saja."
Dila sekali lagi mengangguk pada pernyataan Fadli dan menepuk lengan pria itu sebelum akhirnya suster membawanya pergi.
Fadli tidak mengikutinya, ia hanya terdiam di sana mematung. Sebenarnya ia tak yakin apakah ia harus memberikan surat pada keluarga Rivan. Namun di tumpukan surat yang saat itu dikirimkan ke kliniknya, ada beberapa nama yang tidak dikenal dan ia yakin bahwa orang-orang itu adalah keluarga Rivan.
Belum lagi masalah kepergian Dila yang masih ditentang oleh Ayah Dila. Ia dan Ibunya sudah bertemu langsung dengan Ayah Dila dalam rangka mencari solusi bersama agar Dila bisa pergi tanpa harus ditekan untuk kembali ke Indonesia. Sebenarnya Dila bisa saja pergi tanpa seizin Ayahnya, hanya saja perempuan itu adalah perempuan keraas kepala dan tetap menginginkan adanya izin dari ayahnya.
Mungkin ia ingin menebus dosanya yang dulu pernah pergi tanpa seizin ayahnya.
Tapi untuk yang kesekian kalinya, Ayah Dila menolak mentah-mentah. Entah harus bagaimana lagi Fadli membujuk Ayah Dila namun yang pasti hari ini Pak Tsunemori akan datang dan mengurus hal tersebut. Tentu saja Dila tak mengetahui kedatangan ayah angkatnya itu, jadi bisa ia pastikan bahwa semuanya akan lancar.
Ia tidak tahu pasti apa yang akan Pak Tsunemori lakukan, tapi Airu mengatakan bahwa ayahnya membawa banyak bukti dan kuasa agar Dila dapat tinggal di Jepang tanpa ada tuntutan untuk kembali ke Indonesia selama yang ia inginkan. Mungkin kewarganegaraan Dila sudah berubah ia juga tidak paham, ia serahkan saja pada Pak Tsunemori.
Yang harus ia lakukan sekarang adalah kembali ke klinik untuk memasukkan setiap surat kedalam amplop sebelum ia mengirimnya. Ia juga akan menunggu hadiah-hadiah apa saja yang akan Dila berikan pada orang-orang yang ada di dalam list tersebut. Namun mengingat nama Rivan berada di dalam deretan tersebut membuat Fadli tak nyaman dan berat hati.
Ia akhirnya duduk sejenak di sofa ruangan tersebut dan mengira-ngira hadiah apa yang akan Dila berikan pada Rivan bersamaan dengan suratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...