Apa yang telah Dila lakukan merupakan sebuah kesalahan fatal. Kondisinya memburuk. Tiap kali seseorang menyangkutkan dirinya pada sebuah lingkaran pertanyaan berumah tangga, ia akan memburuk. Paniknya mengambang di udara dengan segala keresahan yang muncul dengan rasa bersalah. Lalu mengapa mereka bertanya mengenai hal itu? Apakah belum menikah pada umur ini merupakan sebuah hal yang tabu?
Mereka sendiri tau bahwa Dila tidak pernah terikat dengan siapapun. Kapan ia memiliki seorang kekasih? 10 tahun lalu merupakan terakhir kalinya ia menyukai seseorang.
Oh! Tunggu sebentar.
Bukankah sekarang ia sedang menyukai Rivan?
Dalam keadaannya yang panik, ia terbatuk karena pemikirannya yang sudah diambil alih oleh hatinya. Rasanya seperti beban yang bertambah tiap kali ia bernapas.
“Dila, hei. Dengarkan aku.”
Fadli menarik tubuhnya dengan sedikit paksa untuk mendapatkan perhatian Dila.
“Kau baik-baik saja. Ada aku, Pak Tsunemori tidak bermaksud menyinggungmu.”
Beberapa kali Fadli mengusap puncak kepala Dila dengan pandangan damai yang selalu ia berikan pada Dila.
Dila mengangguk dan tetap menutup mulutnya. Ia berusaha keras untuk memperlambat deru napasnya. Sungguh, jika saja ia bisa melemparkan kelainannya ini pada orang lain, ia pasti sudah melakukannya sejak pertama kali ia memilikinya. Namun sayang sekali hal itu tidak bisa ia lakukan.
“Bagus. Tarik napas... lalu keluarkan perlahan.”
Dila tak berbicara apapun saat napasnya sudah kembali normal. Ia merasa begitu buruk, ia merasa begitu tak berguna. Bagaimana ia menghadap ayah angkatnya dengan kondisi yang tidak baik-baik saja seperti ini.
Jika dilihat kembali, ayah angkatnya sudah berkali-kali mengingatkan agar ia rutin menemui psikiater. Namun ia tidak ingin diberikan obat, ia bukan orang sakit. Ia lebih memilih psikolog. Dan ayah angkatnya lagi-lagi menyetujui apapun pilihannya. Tapi dengan persetujuan itu, Dila bahkan tidak pernah mencari seorang psikolog untuk merawatnya. Selama kurang lebih 2 tahun ia tak pernah konsultasi.
Ia pikir ia sudah sembuh karena ia tak pernah mengalami gajala-gejala seperti biasa.
Siapa yang tahu ternyata ia mengalaminya lagi kali ini? Setelah waktu yang berlalu begitu saja?
“Jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Fadli kembali tersenyum.
Dila menggeleng dan menepuk bahu Fadli, menggesernya dari hadapan dan berjalan ke arah ruang makan. Ia pikir tak seharusnya ia meninggalkan Pak Tsunemori dengan cara yang tiba-tiba seperti tadi. Rasanya ada sebuah dosa yang kembali bertambah di kehidupannya.
“Aurin, maaf... ayah tidak bermaksud—“
“Maafkan aku ayah. Aku tak menuruti apa yang kau katakan.” Dila menghampiri Pak Tsunemori dan memeluknya erat.
Ia tak bisa mengatakan betapa menyesal dan malunya dirinya pada ayah angkatnya yang sudah begitu terbuka membiayainya untuk apapun. Bahkan menyewa dokter pribadi untuk Dila agar ia sembuh. Ia sungguh makhluk yang tidak bersyukur.
“Ma~ Ma~ Bagaimana jika kali ini kita makan dan kembali mengenang saat kalian pertama kali ke Jepang.”
***
Jepang, beberapa tahun yang lalu...
“Jadi benar keluargamu akan datang kesini?”
Airu memainkan benang-benang yang biasa Dila gunakan untuk membuat sebuah karya. Ia terlihat begitu senang namun bingung secara bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomansDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...