Rumahnya kembali sunyi. Malam itu ia duduk dalam diam dan lampu yang sengaja ia atur agar temaram. Di kegelapan malam, ia bisa melihat cahaya lampu dari halaman belakang menjadi sebuah cahaya yang sangat menenangkan pikiran. Di ruang keluarga itu ia duduk di hadapan meja dengan satu toples besar yang berisikan tulisan-tulisan dirinya saat ia mengalami situasi genting. Baik itu saat ia mengalami kecemasan yang sangat parah ataupun saat ia benar-benar depresi. Fadli pikir ini adalah saat yang tepat untuk membaca tiap surat dari dirinya dan untuk dirinya. Pria itu juga mengatakan bahwa hal tersebut akan membuatnya lebih ringan saat ia meninggalkan Indonesia. Karena dirasa bukan ide yang buruk, Dila akhirnya melakukan apa yang Fadli sarankan.
Ia membuka penutup toples tersebut dan melihat begitu banyak kertas yang tersimpan di dalamnya. Ada yang dilipat secara rapi, ada yang dilipat acak, bahkan ada pula kertas yang sepertinya sudah ia buang dan terlihat sangat kusut. Dengan hati-hati ia mengeluarkan semua kertas tersebut dan meletakannya di atas meja. Seperti yang sudah di perkirakan olehnya, ada banyak sekali kertas yang sudah ia susun.
Ia memisahkan kertas-kertas yang memiliki tulisan banyak dengan yang hanya berisikan tulisan singkat. Setelah itu ia terdiam dan kembali memandang ke arah halaman belakang. Ia mendapati bayangan dirinya di kaca dan menyadari bahwa tubuhnya semakin membaik. Senyuman tersungging di wajahnya dan ia akhirnya memberanikan diri untuk membaca kertas yang memiliki tulisan singkat.
Tak banyak yang bisa ia tangkap selain ucapan terima kasih dan kalimat-kalimat motivasi untuk dirinya sendiri. Ia sedikit tersenyum ketika menyadari begitu puitisnya dirinya yang bahkan sedang dalam kondisi mental buruk. Setiap kertas yang sudah ia baca kembali masuk kedalam toples dengan perasaan dirinya yang semakin membaik. Ia sangat bangga pada dirinya yang hingga saat ini bertahan walaupun dari setiap kertas dengan tulisan singkat itu rata-rata ditulis saat ia masih belum bisa berbicara secara lancar.
Tangannya berhenti sejenak dan memikirkan betapa depresinya saat ia tak bisa menulis novel seperti biasa. Ia masih ingat betul saat-saat dimana ia hanya bisa menggambar komiknya tanpa bisa menaruh percakapan di dalam komiknya. Ia juga ingat saat ia begitu emosi pada dirinya sendiri dan melemparkan alat-alat gambarnya hanya karena ia tidak bisa membuat percakapan yang pantas untuk panel tersebut.
Rasanya sudah sangat jauh sekali karena kini ia sudah bisa menerima dirinya sendiri. Menerima kenyataan bahwa di dalam dirinya bukan hanya seorang Dila Maulin Sucipto saja. Ada Maulin yang sangat keibuan, ada pula Caroline yang siap melindungi dirinya dari para pembuli. Ia terkekeh dan kini memasukkan seluruh kertas bertulisan singkat kedalam toples. Sejenak ia menarik napas dalam-dalam sebelum membaca kertas yang memiliki tulisan sangat panjang.
Ia mengerutkan kening ketika melihat kertas pertama yang memiliki tulisan satu halaman penuh. Tulisannya sangat berbeda dengan tulisan tangannya. Tapi kemudian ia merasa lega ketika melihat nama penulis di akhir tulisan tersebut. Caroline memiliki tulisan tangan yang penuh dengan penekanan dan sedikit tidak rapi seperti terburu-buru namun ketika mengingat kembali ia sadar bahwa Caroline bukanlah pribadi yang sabar jadi pantas saja tulisan tangannya seperti itu. Ia mengangguk pada dirinya karena telah memahami logika Caroline yang pada dasarnya penuh dengan emosi yang meletup-letup.
Di sana banyak sekali kata-kata sumpah serapah untuk dirinya. Caroline menuliskan mengenai tindakan bodohnya karena sudah memilih jalur berbahaya dengan berkenalan pada Rivan. Caroline juga menuliskan bahwa dirinya yang merupakan Dila Maulin Sucipto itu merupakan pribadi bodoh dan selalu mengedepankan orang lain sebelum dirinya. Untuk yang satu itu ia menyetujuinya dan matanya kembali membaca tiap kata yang kini di jatuhkan pada Maulin. Caroline menuliskan banyak sekali kejengkelan dirinya pada Maulin.
Ia tertawa karena setiap kejengkelan tersebut rasanya dirasakan oleh seseorang yang sudah ia kenal lama. Seseorang yang hidup di tubuh lain bukan di tubuh dirinya. Seseorang yang jengkel pada Kakak. Kejengkelan yang sangat kekanak-kanakan.
Ia kembali menyimpan kertas tersebut di dalam toples dan membawa kertas lain yang memiliki tulisan sangat rapi seperti keluar dari percetakan ternama. Tulisan tangan yang indah dan sangat hati-hati, begitu lembut ditulis di atas kertas dan menciptakan seni yang sangat berharga. Ia tahu ini pasti adalah tulisan tangan Maulin.
Membaca tulisan Maulin berasa membaca sebuah jurnal pengetahuan sains mengenai tindakan seorang manusia yang menjadi eksperimen. Begitu detail dan ia menjelaskan banyak hal yang tidak Dila ketahui. Maulin juga menuliskan bagaimana sulitnya menekan Caroline agar tidak muncul, ia menjelaskan Caroline yang sangat implusif membuatnya kepayahan terlebih dengan kondisi mental Dila yang semakin memburuk.
Aw, Dila merasa tidak enak pada Maulin.
Namun hatinya tersentuh ketika membaca beberapa kalimat terakhir dari Maulin. Ia merasa sangat kagum dan sedikit kecewa dengan alasan mengapa Maulin harus menjadi kepribadiannya yang lain? Mengapa Maulin bukanlah individual lainnya yang bisa menjadi temannya?
'Tak haruslah dirimu menekan diri untuk menjadi yang terbaik di mata Ayah. Kau sudah melakukan banyak hal dan fokuslah pada dirimu sendiri. Carilah kebahagiaan, kami -yang kumaksud adalah diriku dan Caroline- pasti akan mendukungmu. Kami tidak akan mengganggu jika kau sudah menerima dan bisa mengatasi semuanya. Maafkan aku yang tidak bisa mengingat keseluruhan kejadian saat Caroline mengambil alih tubuhmu karena ia memiliki andil yang cukup kuat pada memori kita. Titipkan salamku pada dirimu yang lebih kuat di masa depan.'
Sekarang ia rasa Maulin dan Caroline bukanlah kepribadiannya yang lain, ia merasa bahwa mereka adalah keluarga yang selalu mendukungnya. Keluarga yang memiliki tubuh masing-masing dan selalu datang ketika ia sedang kesulitan. Meminjamkan bahu mereka untuk dirinya bertumpu. Air mata menetes dan ia tertawa karena seharunya ia sadar dan seharusnya ia lebih mencintai dirinya sendiri.
Sungguh ironis namun ia mendapatkan banyak pelajaran dari apa yang sudah ia lalui.
Kembali ia membaca dengan saksama setiap kertas yang tersisa dan ia tahu bahwa ia sudah menjadi seseorang yang lebih hebat ketimbang dirinya yang lalu saat menuliskan surat-surat itu. Kini ia tak meragukan Fadli karena benar adanya ia merasa menjadi lebih ringan. Perasaan berat didadanya menghilang dan ia bersyukur dengan kemampuan bicaranya yang cepat pulih.
Tuhan tau jika seseorang berusaha keras, ia pasti akan mendapatkan ganjaran yang serupa.
Saat itu juga ia berdiri dan membawa beberapa kertas kosong dan sebuah pena. Walau kosa katanya belum luas, setidaknya ia bisa memikirkan pelan-pelan setiap kalimat yang harus ia tuliskan pada masing-masing kertas.
Malam itu, dengan senyuman dan sesekali air mata yang meluncur di pipinya, Dila mencurahkan setiap perasaannya pada kertas-kertas yang akan menjadi sebuah pernyataan rasa syukur pada setiap orang yang berpengaruh pada dirinya selama dua tahun ke belakang. Tanpa satu rasa penyesalan pun yang ia rasakan, ia melanjutkan malam dalam keadaan sunyi penuh pengharapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...