69. Terungkap?

247 23 1
                                    

Rivan duduk di sampingnya dan memberikan satu cup teh manis hangat secara hati-hati agar tidak tumpah. Sementara Dila tidak tergesa-gesa untuk membawa minuman hangat itu, melainkan hanya menatap lorong tempat Herlambang mengundurkan diri sejenak. Tapi samar-samar aroma kayu manis tercium dan ia sadar bahwa di dalam teh manis hangat itu terdapat kayu manis.

Ia membawa cup itu dan menikmati teh hangat yang kini mengalirkan sebuah kelembutan ketubuhnya dari aroma kayu manis itu. Ia tidak akan mengakuinya secara lantang, namun kini ia sangat tersentuh. Mungkin ia ingin menangis dan bahkan sepertinya ingin memeluk Rivan saat itu juga. Bagaimana bisa ia masih mengingat detail kecil mengenai dirinya yang menyukai teh manis hangat ditambah kayu manis?

Tapi ia sadar diri. Ia adalah perempuan yang meninggalkan Rivan.

“Apa sudah lebih baik?” Ia hanya menjawab dengan anggukan.

Bahasanya formal sekali.

“Kemana Herlambang?”

Kali ini Dila berani mengangkat pandangannya. Menunjukkan ekspresi datar khas miliknya dan menunjukkan arah kemana Herlambang pergi. Namun dalam hati ia sangat berharap jika Herlambang atau salah satu dari evaluator datang menghadapnya saat ini juga. Kondisi yang membuatnya tak bisa berbicara lancar ini sangat membebani dirinya.

Rivan pun terlihat sangat canggung dengan segala bahasa formal yang ia gunakan. Posisi duduknya yang terlalu tegak dan bahu yang tegang. Jemarinya yang tidak mau diam. Ia tahu betul tanpa harus memperhatikan bahwa Rivan sedang nervous berada di dekatnya.

Mereka duduk berdampingan namun rasanya sangatlah jauh.

Ia sesekali menyentuh kakinya, merasakan bahwa kali ini kakinya sudah jauh lebih kuat dan tak terasa seperti jelly. Tanpa diberitahu pun ia akan segera pergi melakukan tugasnya. Dengan keberadaan Rivan di sampingnya –terlebih ketika mencium aroma pria itu— ia tidak bisa berpikir jernih. Semuanya tertutup oleh bayang-bayang kelam yang menyakitkan tentang apa yang sudah mereka awali. Sebuah awal yang salah.

Sejenak ia kembali mengerutkan kening, mencari kata-kata yang pas untuk diucapkan agar Rivan tak mengetahui kondisi Dila yang sebenarnya. Semua itu harus dilakukan hati-hati dan teliti. Kiranya ia sudah mendapatkan kata yang pas, sesegera mungkin ia bangkit dengan gerakan halus yang gemulai. Merapikan posisi blazer dan roknya, lalu bergeming di sana.

“Terima kasih sudah membantu. Aku harus mengerjakan pekerjaanku di sini.”

Ujar Dila sedikit lamban. Ia sendiri cukup terkejut ketika mengetahui kata-kata yang ia keluarkan tidaklah rancu.

Rivan berdiri dengan postur tubuh yang canggung dan mengatakan bahwa ia pun harus melakukan pekerjaannya. Lalu ia tersenyum tulus kemudian pergi meninggalkan Dila sendirian.

Senyuman itu yang membuatnya terlihat tampan. Dila hanya bisa tersenyum miris dan mulai berjalan secara perlahan.

***


“Bagaimana acara di kantor tadi?”

Amara berjalan di sampingnya sembari membawa tas kosong yang akan diisi dengan pakaian Askar dan Fairuz. Kebetulan banyak sekali pakaian mereka di apartemen Rivan.

“Seperti biasa. Namun lebih menegangkan karena adanya inspeksi dari kantor pusat.”

Rivan mengeluarkan kunci apartemennya lalu memijat tengkuknya perlahan. Ia rasa sejak siang tadi, bahunya begitu tegang dan tengkuknya pegal sekali.

“Kantor pusat? Apa Mbak Dila datang juga?”

Rivan menghentikan proses membuka pintu apartemennya. Sedikit terkejut pada pertanyaan yang terlontar dari mulut Amara. Bagaimana ia bisa tahu bahwa Dila datang juga? Apa dari Salsabila?

“Hm? Ya begitulah.”

Tanpa butuh waktu yang panjang, mereka sudah berada di dalam apartemen yang kental sekali dengan unsur maskulin. Semuanya tampak rapi hingga Amara pikir bahwa ada perempuan di apartemen ini yang selalu membersihkan apartemen yang cukup luas itu. Tapi jika ia mengetahui Rivan lebih dalam, ia tak akan ragu bahwa memang benar Rivan adalah seseorang yang suka pada kebersihan.

Dalam kamusnya itu adalah hal yang mutlak.

Suasananya memang cukup monoton dan dingin. Beberapa foto terpampang di dinding dalam ukuran yang cukup besar. Berisikan gambar keluarga besar Rivan. Ada pula keluarga utama Rivan. Ada televisi yang lebar, ruang tengah yang terlihat nyaman namun kaku. Ada rak buku yang penuh dengan kamus juga beberapa ilmu pengetahuan lainnya. Dapurnya luas dan nyaman. Terlihat cukup sering digunakan. Mungkin saja digunakan oleh Salsabila.
Rivan menghilang di balik pintu yang Amara pikir merupakan kamar tamu yang mungkin biasa digunakan oleh Askar juga Fairuz. Sementara dirinya sedang menatap seluruh penjuru dari ruangan tengah. Berisikan sofa empuk yang luas dan nyaman. Juga karpet yang lembut. Namun ada hal aneh di ruangan itu tetapi belum bisa ia pastikan apa itu.

Kali ini ia berkeliling di ruangan tengah, memperhatikan kembali setiap detail ruangan yang kaku namun indah ini. Sejauh yang ia lihat, di setiap  permukaan furniture tidak ditemukan debu yang menumpuk. Semuanya bersih tak bernoda. Hingga ia melihat sesuatu.

Figura yang ditelungkupkan itu mencuri perhatiannya.

Mungkin ia tidak sopan. Tapi mungkin saja Salsabila datang ke apartemen Rivan dan tak sengaja menyenggol figura itu. Ia meraihnya dan mengangkatnya dengan kondisi hati yang ramah. Namun semuanya berubah ketika ia melihat isi figura tersebut. Kondisinya kini kebingungan tetapi tak ada jejak posesif ataupun cemburu.
Ia melihat Dila yang sedang memeluk Rivan dari belakang.
Seberapa dekatkah hubungan Dila dengan Rivan? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Namun jika ia melihat Dila saat itu, ia pikir Dila merupakan teman lama Rivan yang sudah kenal dengan baik pada keluarga pria itu.

Kembali ia menajamkan pandangannya, sesekali melihat ke arah ruangan tempat Rivan berada. Ia mengangkat figura itu lebih tinggi untuk memperjelas pandangannya pada foto tersebut. Namun ia kembali menahan napas sembari menutup mulutnya. Mencoba untuk tenang agar tak terdengar oleh Rivan.

Di sana ia melihat adanya cincin yang tersemat di jari Dila, begitupun pada jari Rivan.

Apa mereka adalah mantan sepasang suami istri? Ia kembali mengerutkan keningnya dan memperhatikan secara jelas bahwa cincin tersebut bukanlah tipikal cincin yang digunakan untuk pasangan suami istri.

Apa mungkin mereka pernah bertunangan?

Amara kembali menempatkan figura ke posisi asalnya. Di telungkupkan dan kembali berjalan kesana-kemari untuk menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Ia menggigit bibir dalamnya ketika mengingat pertemuan pertama dirinya dengan Dila. Ia memang tak sadar dengan ekspresi yang Dila keluarkan saat itu. Namun kini ia mengerti mengapa saat itu Dila terlihat begitu dingin dan terkesan sulit untuk didekati.

Dila pasti berpikir bahwa dirinya telah merebut Rivan. Sejujurnya kini ia merasa tak tenang. Lalu bagaimana jika Rivan berhubungan dengan dirinya hanya sebagai pelarian? Ia menggeleng cepat karena tahu bahwa Rivan bukan tipe pria seperti itu. Ia sudah mengenalnya sejak kuliah, Rivan adalah pria yang baik.

Jadi ini penyebab Rivan memiliki hubungan yang buruk dengan Dila akhir-akhir ini.

“Amara, ada apa?”

Rivan keluar dari ruangan itu sembari membawa tas yang kini terisi penuh. Amara hanya menunjukkan senyum keibuannya, memperlihatkan lekukan indah dari mata yang ikut tersenyum.

“Tidak ada apa-apa.”

***

A/N
ALOHA MOOSE

it's been a long time isn't it?

Yeah, semakin dekat ke akhir doong saya jadi sedih sendiri.

Jika kalian suka tolong vote, comment, share, masukkan ke library dan reading list kalian.

See ya!

Warm regards,
Matsushina Miyura

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang