Langkah mereka menimbulkan gema di lorong Rumah Sakit yang cukup sepi. Amara berjalan dengan langkah yang cepat sementara Dila hanya bisa mencoba untuk menenangkan dirinya. Lorong itu terasa sangat panjang dan dingin menusuk kulitnya. Ia tak tahu harus menunjukkan sikap seperti apa. Semua hal yang Amara katakan membuatnya goyah, terlebih mengenai Rivan yang ternyata belum sembuh hingga ia tak bisa untuk menyentuh Amara. Ia merasa gagal dan bersalah karena apa yang terjadi pada keluarga Rivan.
"...jadi Kak Rivan harus kembali ke kantor untuk sementara waku..."
Ia sadar bahwa itu adalah suara Salsabila. Ia lebih terkejut ketika ia mengetahui bahwa kini dirinya sudah berada di depan pintu kamar inap Ibu Rivan. Seluruh darah di wajahnya turun dan hanya menyisakan sosok pucat yang kebingungan. Ia ingin sekali berteriak ketika Amara masuk kedalam. Kakinya begitu kaku dan berat, tak bisa mengikuti langkah Amara.
Ia berpikir keras, mencoba mengendalikan tubuhnya. Mungkin ia harus mengatakan permintaan maaf pada semua hal yang terjadi di keluarga Rivan. Mungkin juga ia harus bersikap tenang sembari berharap Rivan tidak tiba-tiba datang di hadapan mereka. Mungkin juga—
"Mbak, ayo."
Jantungnya berdebar kencang ketika Amara menarik lengannya. Cukup terkejut ketika mengetahui bahwa Amara cukup kuat untuk menyeretnya kedalam. Ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, namun kini ia berdiri di dekat sofa yang menghadap ke arah ranjang. Ia menyadari bahwa lantai kini lebih menarik daripada orang-orang di sekitarnya.
"Kak Dila?"
Saat itu juga ia menatap Salsabila yang memanggilnya. Salsabila yang sedang duduk di samping ranjang Ibu Rivan terlihat sangat terkejut hingga ia tak bisa mengendalikan ekspresi wajahnya. Wajah Ibu Rivan terlihat pucat namun tetap mengeluarkan aura ceria seperti biasa. Ia lupa dengan apapun yang sudah ia rencanakan di luar ruangan itu. Semuanya tiba-tiba menjadi abu.
Ia sadar apa yang membuat Salsabila terkejut seperti itu. Ia pasti berpikir bagaimana bisa Amara yang pada dasarnya merupakan kekasih baru Rivan berhasil membawa Dila ke hadapan mereka. Sementara Amara sendiri sudah mengetahui bahwa Dila adalah mantan kekasih Rivan. Perempuan waras mana yang dengan kesadaran utuh membawa mantan kekasih pria nya untuk berhadapan dengan keluarga pria itu.
"Um... aku akan menunggu di luar."
Salsabila berdiri dan melangkah keluar bersama dengan Amara yang dengan sengaja memberikan waktu luang untuk Dila dan Ibu Rivan.
"Dila, apa kabar?"
Seutas senyuman muncul dari wajah Ibu Rivan dan itu membuatnya tergerak untuk duduk di kursi samping ranjang.
"Aku... baik-baik saja.""Syukurlah. Bagaimana kehidupanmu di Jepang?"
"Em... sama seperti itu."
Ibu Rivan terdiam sesaat lalu ia mengeluarkan tawa yang khas, menepuk bahu Dila dan kembali tertawa.
"Canggung bukan? Jadi apa yang membuat Amara berhasil menyeretmu datang kemari? Aku dengar dari Rivan, kau sibuk sekali saat melakukan evaluasi di kantornya."
Dila hanya menjawab dengan kekehan kecil, pada kenyataannya ia tak tahu harus berbicara apa agar tak ada yang menyadari bahwa ia belum bisa berbicara lancar. Kemudian ia mengeluarkan secarik kertas yang berisikan tulisan Ibu Rivan. Melihat hal itu, Ibu Rivan tidak menunjukkan ekspresi yang berarti selain senyuman lain yang terkesan bahwa pada akhirnya ia tahu semua ini akan terjadi.
"Jadi seperti yang kamu ketahui, aku sama seperti mu, seorang observan. Surat ini aku tulis karena kau mengingatkanku pada Alghi, kembaranku yang sudah lama pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...