14. Sukses

997 64 2
                                    

"HE?!"

Kegaduhan berasal dari kamar Denia yang sedang berteriak tidak percaya. Ayah dan Ibu hanya menatap kebingungan lalu kembali melihat ke arah Rivan. Dila berusaha sebisa mungkin untuk tak tertawa. Rivan masih saja mengumbarkan senyuman halus yang dapat menyejukkan hati.

"Biar Ibu buatkan minum."

"Ah tidak usah Bu, biar Dila saja."

Dila mendahului Ibunya meninggalkan ruang tamu. Ia akan memberikan waktu pada Rivan untuk berbincang dengan Ayah dan Ibunya. Karena bagaimanapun juga, Ayah merupakan seseorang yang tidak mudah percaya. Denia keluar dari kamarnya dengan pakaian yang lebih sopan. Ia terlihat linglung saat menatap Dila. Namun akhirnya ia mengikuti Dila menuju dapur.

"Kak, itu pasangan kakak?"

Denia muncul di belakang Dila dengan menunjukkan sifat ketidaksabarannya untuk mengetahui kebenaran.

"Hm? Nanti tanya saja Ayah."

Dila sebisa mungkin menghindari pernyataan 'Rivan adalah kekasihku, ia juga calon suamiku.' Karena, yang benar saja? Ini semua hanya sebuah kepura-puraan belaka. Biarkan Rivan yang beraksi, Dila tak ingin menanggung resiko. Jika saja nanti kepura-puraan ini terhapuskan, maka ia bisa mengelak bahwa selama ini ia tak mengatakan bahwa Rivan adalah kekasihnya ataupun calon suaminya.

"Padahal aku sendiri.... Apa di jari manismu itu kak?! Hiii!"

Denia menggenggam tangan kanan Dila secara tiba-tiba, menariknya untuk melihat sesuatu yang berkilau disana.

Denia secara spontan memeluk Dila ketika ia menyadari bahwa Dila mengenakan cincin yang sebelumnya belum pernah ia pakai. Karena pada dasarnya Dila hanya memakai 1 cincin, dan itu pun ia kenakan di tangan kiri.

"Kakak dilamar? Selamat!"

Denia mengguncangkan tubuhnya kuat-kuat, sementara Dila hanya dapat pasrah mengenai kelakuan adiknya yang terlampau senang.

"Terima kasih, Nia."

"Tapi bukankah kakak sering dijodohkan oleh Ayah? Apa lelaki itu tidak merasa cemburu?"

Denia menatap Dila secara intens, menginginkan sebuah jawaban yang kiranya masuk ke dalam logikanya.

"Kau tahu, kakak yang memintanya untuk menyembunyikan hubungan ini karena kakak belum siap. Kakak adalah wanita independen, masih menginginkan kebebasan. Lagipula selama 1 tahun hubungan ini," ucapnya dengan tenang sembari mengaduk teh manis. Ia akan berpikir apa yang harus ia katakan agar terlihat normal.

"Kami berhubungan jarak jauh, dan kakak menyukainya. Lalu ia ternyata dipindahkan ke kantor kakak, dan ia ingin berkomitmen. Dan ini hasilnya."

Dila menempatkan 4 cangkir itu di atas nampan. Bersiap untuk membawanya, namun ia terkejut melihat Denia yang berkaca-kaca. Menatapnya seakan ia akan kehilangan kakak yang ia banggakan selama ini. Lalu Dila terkekeh.

Dila sadar bahwa sesungguhnya ia tak pernah dekat dengan Denia. Ia lebih menutup diri dari keluarganya karena, bagaimanapun, ia tak menyukai seseorang mengganggu batas privasinya. Meskipun mereka adalah keluarganya sendiri. Seakan mereka dapat menyakitinya kapanpun dan di manapun. Sejak remaja ia benci terikat oleh sesuatu. Ia lebih senang berdiam diri di kamarnya daripada berkumpul di suatu tempat bersama remaja sebayanya.

Denia seringkali masuk kedalam kamarnya, seakan ia ingin berbincang. Setidaknya hanya beberapa perbincangan ringan. Namun Dila selalu begitu strict. Menanyakan apa yang dibutuhkan oleh adiknya dan itu membuat nyali Denia menciut. Kembali mengubur harapannya untuk berbincang dengan sang kakak dan keluar dari kamar dengan langkah gontai.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang