74. Aldha

280 23 3
                                    

Dila menajamkan pandangannya, merasa tak percaya jika Amara mendapatkan sesuatu yang begitu rahasia dan tentunya tak bisa dilihat sembarang orang. Bisa saja ia melihat kertas itu tergeletak sembarangan, namun bukan posisinya untuk mengambil kertas itu hingga menunjukkannya pada orang lain. Sangat tidak etis.

"Salsabila yang memberikannya padaku." Dila tertegun mendengarnya.

"Aku sudah mengetahui bahwa Mbak Dila sebelumnya memiliki suatu hubungan dalam dengan Kak Rivan."

"Dan itu bukan salahmu." Tegas Dila karena ia tahu kemana arah pembicaraan itu berlanjut.

"Bahkan sejak kami memulai hubungan, Kak Rivan terlihat seperti kehilangan sesuatu. Kini aku sadar, Kak Rivan tak seharusnya bersamaku. Mbak Dila yang sepantasnya bersama Kak Rivan."

Ini sudah membuat Dila pusing tak henti. Ia hanya bisa berdiam diri untuk memikirkan jawaban yang rasanya tak ambigu.

"Aku meninggalkannya dan aku titipkan padamu. Tolong jaga dia." Dila menganggukkan kepalanya berkali-kali sembari memejamkan mata.

"Tolong, kondisi Kak Rivan tidak membaik."

Kalimat bergetar itu membuatnya penasaran dan ia menemukan Amara yang kini berlinang air mata. Terlihat menahan banyak sekali emosi. Mereka berada di posisi yang tidak saling menguntungkan, menyakiti hati satu sama lain. Pada kenyataannya bukan hanya Dila yang menderita, tetapi sejak Amara mengetahui semua kebenarannya, ia pun sama mengalami penderitaan.

Ia mengetahui bahwa Rivan tidak sungguh-sungguh memiliki sebuah perasaan terhadapnya, pun keadaan Rivan yang memaksakan pria itu untuk mau menyentuh Amara walaupun ia tahu bahwa ia masih belum bisa menyentuh lawan jenis selain keluarga terdekat juga Dila. Amara tahu bahwa Rivan seperti itu bukan karena ia merasa jijik, namun ia merasa bersalah.

"Maksudmu?"

"Mbak Dila pasti berpikir jika Kak Rivan sudah bisa —secara leluasa menyentuh lawan jenis. Namun ia belum bisa. Aku—"

Amara menghentikan kalimatnya dan menunduk untung mengendalikan emosi yang meluap-luap, berlomba untuk dikeluarkan. Ia tidak memiliki siapapun untuk mengatakan permasalahannya. Ia rasa hanya Dila yang bisa menghentikan semua permasalahan ini.

"Aku merasa begitu bersalah ketika melihat Tante, Salsabila, bahkan Mbak Laura yang bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Padahal pada kenyataannya tidak seperti itu."

Dila membeku di tempatnya. Ia benar-benar merasa gagal ketika hal yang ia pikir merupakan sebuah jalan keluar paling efektif namun ternyata sedikit demi sedikit memberikan efek yang menyakitkan pada mereka yang seharusnya tak ia sakiti.

"Tante masih belum pulih total dari efek kecelakaan sementara Mas Hardi hanya dapat bangun sebentar dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan terlelap. Salsabila selalu membantu walaupun ia sibuk. Mereka terlihat kacau dan bahkan aku sendiri merasa bersalah karena aku tidak bisa membantu mereka." Amara menangkupkan wajahnya lunglai.

Tidak, itu semua bukan salahmu. Itu semua salahku. Jangan salahkan dirimu, biarlah aku yang menanggungnya.

Dila menarik napas panjang, mencoba untuk tetap terkendali. Ia bisa merasakan sulur-sulur kecemasan yang merambat di balik kulitnya, membuat sebuah sensasi menggelitik yang menyakitkan. Ia tidak bisa duduk manis di cafe itu jika ia mengetahui bahwa keadaan semua orang tersakiti karena ulahnya. Ia harus memperbaiki itu.

"Kak Rivan memiliki phobia itu karena kekasih semasa kuliahnya."

"Ya, aku pernah dengar."

"Namun sebenarnya bukan hanya karena itu. Ia adalah saksi mata penyiksaan yang dilakukan oleh kekasih saudara kembar Tante Aldha."

Dila yang tidak mengerti hanya bisa merengut dan mengusap pergelangan tangannya canggung. Kalimat yang dikeluarkan Amara cukup membuatnya bingung dan ia harus berpikir dua kali agar mengerti.

"Beliau sempat memiliki hubungan tidak sehat dengan kekasihnya. Tante Aldha mengatakan jika saudara kembarnya itu tidak mengatakan apapun tentang apa yang sudah beliau lalui. Hingga akhirnya beliau meninggal sendirian karena serangan jantung."

Ia membisu ketika mendengar betapa peliknya masa lalu Rivan yang belum pernah ia dengar. Sedikit merengut karena –entah bagaimana– ia bisa merasakan dirinya berada di posisi saudara kembar Ibu Rivan. Bagaimana rasanya mati sendirian tanpa diketahui oleh kerabat.

"Aku hanya ingin Mbak Dila kembali pada Kak Rivan. Jika aku penghalang hubungan kalian, aku sudah mundur sejak mengetahui hal ini. Dan tolong, jenguklah Tante Aldha." Amara mengusap air mata di pipinya dan membuat sebuah senyuman yang tulus.

"Sebentar."

Dila bangkit dan mencari supirnya. Ia akan melakukan sebuah negosiasi agar ia bisa menjenguk Ibu Rivan. Keputusannya untuk meninggalkan Rivan tidak akan berubah, tapi ia akan berusaha untuk memperbaiki rasa sulit yang dirasakan oleh Ibu Rivan. Keputusannya saat itu sangat mendadak dan pastinya menyebabkan ketidak tulusan dari Ibu Rivan. Jadi akan cukup sulit untuk melepaskan Dila.

"Nona tidak bisa pergi ke Rumah Sakit. Banyak sekali orang yang mencari titik lemah dan akan menghalalkan segala cara untuk menghancurkan Nona."

Jawaban itu tidak membuatnya senang. Ia lagi-lagi menjelaskan bahwa semua masalah yang ada di tanah kelahirannya harus segera diselesaikan. Ia benar-benar tidak ingin diganggu oleh bayang-bayang rasa bersalah yang pasti akan menghantuinya. Membuatnya sulit untuk sembuh dari cengkraman rasa cemas dan panik.

"Aku harus selesai ini."

"Selesaikan."

"Terserah apapun itu katanya."

"Baiklah, saya akan memperketat pengawasan."

"Bagus."

Dila kembali menghampiri Amara dan tanpa mengatakan apapun mengajak Amara untuk mengikutinya. Ia harus bergegas karena waktu yang ia miliki sangatlah terbatas. Amara pun tidak protes ketika Dila bersikap bossy padanya.

"Datanglah ke Rumah Sakit itu."

Dila memberikan arahan pada supirnya yang kini berusaha keras untuk tidak membenarkan kalimat yang Dila lontarkan.

"Apa Mbak Dila ada urusan lain setelah ini?"

Tidak menjawab dengan kalimat, Dila hanya mengangguk dan menggenggam secarik kertas tadi erat-erat.

"Apa kau tahu lebih mengenai saudara kembar Tante Aldha?"

"Aku hanya diberitahu garis besarnya saja, tapi Tante pasti akan menceritakan seluruhnya pada Mbak Dila."

Lalu Amara mengeluarkan kertas lain dari tas tangannya. Sebuah foto lusuh dengan gambar yang masih bisa dilihat secara jelas oleh mata telanjang. Dua gadis berdampingan, satu gadis di sebelah kiri tersenyum lebar kearah kamera. Menampilkan sebuah aura humoris yang ramah dan terbuka. Sementara gadis di samping kanan tersenyum lembut dengan gaya yang begitu kuat dan tegas. Sorotan mata yang kuat tanpa menghilangkan aksen keibuan. Tampang mereka sangat mirip hingga sulit untuk dibedakan, selayaknya cermin yang menirukan secara sempurna. Hanya cara memandang mereka yang berbeda.

"Ini kembarannya?"

"Ya, dan Mbak Dila akan segera mendengarkan cerita sepenuhnya."

Keringat dingin bercucuran di tengkuk dan punggungnya. Jika menurut secarik kertas itu, Dila sangatlah mirip dengan kembaran Ibu Rivan. Memang benar aura yang dikeluarkan saat Dila melihat foto lusuh itu mirip sekali dengan auranya. Aura dari seorang gadis yang pernah mengalami rasa sakit paling dalam. Namun sosok dari saudara kembar Ibu Rivan itu begitu kokoh. Berbeda dengannya yang lebih condong pada ketegasan yang kuat.

"Semuanya akan diungkapkan oleh Tante Aldha sebagai salam perpisahan."

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang