84. Kebahagiaan Mereka

211 15 2
                                    

Ia mengedipkan matanya beberapa kali, selalu terkejut ketika make up  dapat menipu segalanya. Luka-luka yang berada di lehernya tertutupi secara apik dan seakan memberikan tanda bahwa tak ada hal buruk yang terjadi padanya. Mata sayu itu pun berubah menjadi lebih segar dengan bantuan beberapa lapisan make up. Dila hanya memandang dirinya yang banyak berubah itu dengan sebuah rasa terkejut yang masih meluap-luap. Rambutnya ditata sedemikian rupa, membiarkan beberapa helai terjatuh dan sedikit terlihat acak namun elegan. Didukung pula dengan long dress ungu yang memeluk tubuhnya secara pas. 

Hari ini ia berjanji untuk bersikap normal. Hari ini juga ia berjanji untuk menikmati setiap kebahagiaan yang akan terpancar dari kedua sahabatnya. Namun ia sudah merusak segalanya karena semalaman Caroline sempat mengambil alih tubuhnya. Ia tak bisa menyalahkan siapapun karena sejujurnya dirinya sendiri yang mempersulit keadaan. Katakan saja bahwa ia sangat bodoh. 

"Apa anda baik-baik saja?"

Ia terlonjak dan akhirnya menatap pada penata rias yang tadi bertanya padanya. 

"Maaf, aku tadi tidak mendengar. Apa anda mengatakan sesuatu?" 

Waw, ia bangga pada dirinya sendiri karena ia kali ini sudah bisa sedikitnya berbicara dengan konteks yang lebih kompleks dari biasanya. Sementara penata rias itu tertawa renyah sembari membenahi letak rambut Dila yang hampir selesai.

"Saya tadi bertanya apa anda baik-baik saja, sepertinya tidak terlalu berkilau dengan semua kebahagiaan yang berkumpul di sini." 

Ia diam sejenak, memang benar ia memiliki banyak sekali hal yang dipikirkan. Namun ia bahagia dengan apa yang akan terjadi hari ini. 

"Aku hanya... sedang berpikir." 

"Berpikir mengenai kapan anda akan menyusul ke pelaminan?" Ujarnya sembari bergurau. Ia tanpa sadar tertawa karena hal itu. 

"Nah, setelah tertawa seperti tadi, auramu akhirnya keluar. Rambutmu sudah selesai dengan menakjubkan." 

Ia menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya kini lebih bersinar dan terlihat senang. Ia tersenyum ramah pada penata rias itu dan memberikan sebuah ucapan terima kasih. Setidaknya wajahnya tak kusut seperti tadi. 

"Jadi apa anda ingin menemui mempelai wanita?" 

"Apa boleh?"

Tanpa menjawab, tubuhnya digiring menuju ruangan mempelai wanita yang mana Maya duduk dengan tegang dihadapan kaca dan penata rias disekelilingnya. Dila menunjukkan senyuman miring, tak tahan melihat sahabatnya yang gelisah. 

"Apa kau akan terus berdiri di situ dan tetap menunjukkan sebuah senyuman yang paling aku tidak suka?" 

Tanpa berlama-lama Dila tertawa sembari menghampiri Maya yang kini sudah ditinggalkan oleh para periasnya. 

"Kau tegang?" 

"Tentu saja."  

"Apa jantungmu berdebar secara berlebihan?" 

"Tentu saja."

"Apa tubuhmu terasa panas?"

Maya menatapnya dengan tatapan tajam sementara dirinya hanya bisa menahan tawa. 

"Aku adalah doktermu, berhentilah menatapku seperti itu." Timpal Dila sementara Maya semakin menggerutu. 

Gerutuan itu berhenti ketika pintu terbuka dan menampilkan Lina juga Yuni yang tiba-tiba saja bernapas lega. 

"Aku mencarimu kesana-kemari. Ayo, kita harus bersiap di depan." Mereka menarik Dila dengan senyuman jahil yang terpatri di wajah mereka. 

Baginya, saat seperti ini membuatnya merasa kembali hidup. Ia tak akan lagi memikirkan mengenai keluarganya yang secara perlahan mulai kehilangan kepercayaan padanya. Juga tak akan memikirkan mengenai cinta kompleksnya pada Rivan. Ia hanya ingin mempermudah semua orang untuk sesegera mungkin memindahkannya ke Jepang. 

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang