Pada saat itu mereka berbahagia. Pada saat itu ia bisa melihat mereka tersenyum lebar pada satu sama lain. Pada saat itu pula ia menguarkan senyuman tulus dan berbahagia bersama teman-teman terdekatnya. Pada saat itu ia memeluk kedua pengantin, berfoto bersama, membuktikan persahabatan mereka yang erat.
Ia kembali tersenyum dan fokus pada pantulan dirinya yang kini terkena cahaya lampu yang cukup terang. Bahagia memang merupakan hal yang sulit untuknya selama beberapa bulan terakhir. Bahagia merupakan sebuah ungkapan paling glamor yang bisa ia dapatkan. Tetapi memang benar, kebahagiaan hanya bisa ia dapatkan jika ia memang ingin berbahagia. Ia melepaskan apapun yang memberatkan hatinya, melepaskan semua rasa penyesalan yang ia kira bisa dengan mudah ia lepas, juga merelakan apa yang sudah terjadi pada tubuhnya yang sempat dalam kondisi terburuknya.
Secara perlahan, ia bangkit dan membawa tas tangan yang kemarin ia gunakan saat pernikahan Maya dan Herlambang. Mengeluarkan seluruh isinya dan mendapatkan benda berkilau di dalamnya. Ia masih ingat secara jelas bagaimana kebingungannya Fadli saat ia memberikan cincin tersebut.
Jemarinya kembali menyentuh cincin itu, merasakan tiap tekstur yang ada. Benda itu merupakan sesuatu yang ia rasa masih belum bisa dilepaskan dengan segala kekuatan yang ia miliki. Ia hanya dapat menatap jemari yang mulanya menjadi tempat berdiamnya cincin yang sedang ia sentuh. Warna kulitnya terlihat sedikit bebeda namun sangat sulit untuk dibedakan jika tidak teliti. Tapi kini posisi cincin itu telah digantikan oleh cincin pemberian Fadli.
Selama sesaat ia duduk tanpa memikirkan apapun. Kebingungan dengan apa yang akan ia lanjutkan selanjutnya namun segera tersadar ketika ia sedikit menoleh pada beberapa koper yang berada diujung ruangan yang semula dipenuhi baju. Ia memang tak membawa banyak barang, dan memang benar bahwa sebagian besar baju pun akan ia tinggalkan di sini. Berjaga-jaga bila ia harus kembali ke Indonesia dalam keadaan darurat.
Ia tahu betul bahwa koper-koper itu akan dibawa oleh orang-orang yang bertanggung jawab, jadi ia yakin bahwa barang-barangnya akan sampai dengan baik kedepan pintu apartemennya di Jepang. Saat pergi nanti ia hanya perlu membawa sedikit barang saja. Sesampainya di Jepang pun ia tahu bahwa ia bisa tidur dengan nyaman tanpa harus memikirkan bagaimana untuk membenahi kepindahannya.
Tetapi kembali pandangannya menatap kearah cincin. Ia harus melakukan sesuatu untuk cincin tersebut.
***
Suara lonceng kecil terdengar di telinganya, seketika ia melemparkan senyuman pada pelayan yang kini menatapnya. Seakan menunggu apa yang ia inginkan di toko tersebut. Tidak langsung berjalan ke arah pelayan itu, ia memperhatikan tempat kecil yang hangat dan tidak terkesan mewah seperti toko-toko perhiasan pada umumnya yang cenderung terkesan mengintimidasi dan meneriakkan aura mewah.
"Ada yang bisa kami bantu?"
Dila mengalihkan pandangannya dan bertemu dengan seorang gadis yang jelas-jelas dibawah umurnya. Rambut gadis tersebut diikat secara rapi hingga tak ada satupun helaian rambut yang menghalangi pandangannya. Tubuhnya lebih pendek daripada tubuh Dila, tetapi hal itu tak membuatnya terintimidasi. Gadis itu tentunya menguarkan senyuman lebar dengan suara yang lembut.
"Aku ingin kalung."
Kemudian ia mengeluarkan cincin dari tas tangannya. Bermaksud untuk memberikan sebuah penjelasan bahwa kalung tersebut akan ia gunakan untuk cincin itu.
"Ah, tentu saja. Apa anda berminat pada kalung perak atau rose gold atau emas biasa?"
Dila terdiam sejenak, memikirkan apapun yang kiranya akan terlihat lebih bagus untuk cincin yang kini sedang ia putar-putar di jemarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...