Tak peduli dengan kue yang sudah ia jatuhkan, Lina berlari ke arah Dila dengan tergopoh-gopoh juga panik. Sementara Yuni hanya membeku dan membulatkan matanya dan bergeming tanpa bisa melangkah lebih jauh.
Yang mereka lihat adalah tubuh Dila yang tergeletak di tengah ruangan. Menghadap kearah mereka dengan begitu jelas menunjukkan adanya darah yang mengalir dari hidung. Namun yang membuat mereka panik bukan main bukan mengenai persoalan mengapa darah itu keluar dari hidungnya, akan tetapi mulut Dila yang berbuih menunjukkan sebuah masalah yang lebih besar.
“Yuni! Cepat panggil ambulans dari rumah sakit Maya. Lalu panggil juga Fadli.”
Yuni masih tidak berkedip dan bahkan tidak bernapas. Dengan kekuatannya, Lina melemparkan sekotak tisu pada Yuni agar ia sadar. Kondisi Dila pastilah kritis dan ia tak bisa membuang lebih banyak waktu.
“Cepat!”
Yuni dengan tangan yang gemetar segera memanggil Maya untuk mengirimkan ambulans ke rumah Dila. Kondisinya berbeda dengan Lina yang mencoba untuk tenang dan melihat kondisi tubuh Dila lebih dekat. Ia memperhatikan tak adanya luka di kepala ataupun leher karena posisi terjatuhnya Dila sangatlah dekat dengan meja yang memiliki ujung cukup runcing itu. Ia bisa benapas sedikit lega. Ya, hanya sedikit.
Kemudian ia mengangkat tangan Dila untuk memastikan nadinya masih berdenyut. Ia setelah ia memosisikan ibu jarinya di tempat yang tepat, ia bisa merasakan nadi yang berdenyut. Kemudian ia menatap jam tangannya dengan kondisi yang ia paksakan untuk berkonsentrasi.
Satu...
Dua...
Tiga...
Lina menggigit bibirnya untuk menahan tangisan. Denyut jantungnya begitu lemah. Sementara ia tak tahu apa yang harus ia lakukan pada situasi kritis seperti ini.
“Berapa lama mereka akan sampai di sini? Denyut jantungnya begitu lemah.”
Lina menghapus jejak air mata yang terus keluar. Bahkan wajahnya memerah dan urat-urat di lehernya muncul ke permukaan.
“Secepat yang mereka bisa, mungkin lima sampai enam menit. Jaraknya tak terlalu jauh.” Jawabnya tergesa-gesa.
Yuni tak berani melihat kondisi Dila dan memilih untuk menunggu ambulans di luar. Sementara Lina dengan napas yang menderu tetap memonitor denyut jantung Dila. Ia dengan putus asa tak bisa menghentikan isakan-isakan yang semakin kuat. Ia kemudian menatap posisi Dila dengan saksama. Mungkin setidaknya ia bisa mengetahui apa penyebab Dila seperti ini.
Mungkin mulutnya berbuih karena ia meminum sesuatu.
Apa ia berniat untuk bunuh diri?
Pikirannya saja sudah berhasil menakut-nakuti dirinya. Ia tak mau memikirkan apapun.
“Tolong cepat!”
Sedikitnya ada tiga orang yang masuk ke dalam rumah Dila. salah satunya menahan Lina agar tidak mendekat dan bertanya mengenai kondisi Dila. Dengan gerakan yang selaras, dua orang itu melakukan sesuatu yang Yuni pikir sedang membuka jalur pernapasan Dila.
Yuni tak ingat apa yang ia lakukan setelah itu, namun ia hanya mengetahui bahwa dirinya sudah berada di Rumah Sakit. Dila sedang berada di ICU untuk mendapatkan pertolongan paling intens yang ia butuhkan. Lina dan Yuni tak bisa memanggil orang lain selain Fadli. Kesehatan Dila merupakan prioritas mereka. Dan mereka sudah berjanji pada Dila jika sesuatu terjadi, hal paling buruk sekali pun, keluarganya tak boleh mengetahui hal itu kecuali Dila menyetujuinya.
Mereka benar-benar kalut dan tak tahu harus bagaimana karena mereka tidak mengantisipasi keadaan seperti ini. Mereka tak pernah berpikir Dila akan seperti ini karena Dila merupakan orang yang sangat hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...