93. Sulit

141 12 0
                                    

"Jadi Bu Dila tidak memberikan pemberitahuan sama sekali?"

Rivan yang kini berada di depan meja Desi hanya menunjukkan ekspresi profesionalnya. Berharap Desi tidak berpikir bahwa ia kini sedang merasa putus asa hanya untuk bertemu dengan Dila.

"Ya, setelah kontraknya di Indonesia hampir habis dan Bu Dila mulai jarang terlihat di kantor, hanya ada informasi yang diberikan oleh pegawai yang berada di bawah naungan Pak Tsunemori."

Rivan mengedipkan matanya beberapa kali, ia kehilangan akal. Apapun yang disembunyikan oleh Dila pasti bersangkut paut pada Pak Tsunemori. Jika yang tertulis dalam surat Dila itu benar adanya, ia yakin banyak fakta tersembunyi yang sengaja dikubur oleh salah satu pemilik perusahaan ini. Yang menjadi misteri tambahan saat ini adalah seberapa dekat Dila dengan keluarga Tsunemori hingga keluarga tersebut banyak sekali membantu Dila.

"Apa saat Bu Dila bekerja di sini, pernah ada rumor yang beredar tentangnya?"

"Hm..."

Desi berhenti membenahi data ditangannya dan menunjukkan ekspresi bahwa ia sedang berpikir.

"Awal-awal Bu Dila bekerja di sini pernah ada rumor bahwa Bu Dila adalah anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi rumor itu tidak bertahan lama, namun sempat muncul lagi ketika Bu Dila melakukan serah terima jabatan dengan Pak Anton."

Ia merasa sudah membuang-buang waktunya dan akhirnya berpamitan dengan Desi. Tak ada informasi konkrit mengenai Dila membuatnya seakan menghadapi tembok tinggi yang menjadi penghalang dirinya dengan Dila. Terlepas dari itu semua, keluarga dari perempuan yang kini masih menjadi sosok panutannya pun sepertinya tutup mulut mengenai apapun yang terjadi. Namun ia yakin jika keluarganya tidak mengetahui secara detail atau bahkan bisa saja mereka diberikan informasi palsu.

Dila orang yang sulit dan kini ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ada orang yang membantu perempuan itu untuk semakin mempersulit orang lain agar tidak bisa menjangkau kelemahannya.

Rivan kembali beristirahat di ruangannya dan mulai bekerja walaupun kepalanya masih dipenuhi oleh teka teki yang hingga saat ini belum terpecahkan. Dengan kondisi dirinya yang tiba-tiba saja tidak tenang, ia segera membuka ponselnya dan menatap wallpaper dalam waktu yang cukup singkat.

Di sana Dila tersenyum lebar dengan posisi tangannya yang merangkul tangan Rivan. Rambutnya yang pendek dan kecokelatan terlihat cukup indah. Ia masih ingat dengan jelas apa saja yang terjadi dibalik pengambilan foto tersebut. Ia menyimpan ponselnya dalam posisi berdiri dan tidak menguncinya, secara sengaja ia lakukan hal itu agar ia bisa menatap senyuman perempuan itu sembari bekerja.

***

"Bila?"

Dari pintu depan Rivan sadar bahwa sepatu Salsabila tersinpan rapi di rak sepatu miliknya. Ia melonggarkan posisi dasi nya dan menghela napas lebih panjang.

"Aku ada di dapur, Kak."

Rivan mengikuti arah suara adiknya dan menemukan Salsabila sedang mengeluarkan beberapa toples dan juga belanjaan lainnya. Rivan mengerutkan keningnya tak mengerti karena untuk apa Salsabila membeli bahan makanan mentah. Ya, ia tak bisa memungkiri bahwa ia bisa memasak namun ia tak sebegitu seringnya memasak.

"Mama khawatir Kakak sakit. Jadi aku belikan bahan makanan karena selama ini Kakak makan mie instan bukan?"

Terlalu sial untuk mengelak, Rivan akhirnya hanya mengangguk.

"Jadi mulai saat ini aku akan memasak untuk Kakak."

"Bil, tidak usah. Aku sendiri akan masak. Kau harus fokus untuk menyelesaikan studimu saja."

Salsabila terdiam sejenak lalu ia kembali merapikan bahan makanan untuk dimasukkan kedalam lemari pendingin.

"Tidak apa. Kakak lebih baik mandi. Bau sekali."

Setelah Salsabila tahu bahwa Rivan tak berada di ruangan yang sama dengannya, ia berhenti membenahi apapun di depannya dan menatap lelah ke arah ruang tengah. Apa yang kini ia lakukan semata-mata karena permintaan Dila. Walau secara eksplisit Dila tak mengatakan bahwa ia harus memasak untuk Rivan, tetapi Dila memintanya untuk menjaga Rivan dan memperhatikan pola makan Kakaknya itu.

Dila menjelaskan bahwa dampak yang dirasakan oleh Rivan mengenai kepergiannya mungkin tidak akan begitu terlihat jelas karena Rivan pasti akan bersikap seakan-akan ia sudah menerima hal tersebut. Tetapi dampaknya akan memakan Rivan secara perlahan dan itu akan sangat merusak baik tubuh dan mental Rivan.

Memikirkannya saja sudah membuatnya ngeri. Ia tak ingin melihat Rivan kembali terpuruk seperti di masa lampau. Maka ia berjanji pada dirinya sendiri untuk setidaknya menjadi sosok adik yang dapat di andalkan.

Sejujurnya ketika Dila mengatakan bahwa hubungannya berakhir dengan Rivan, ia tak percaya sekaligus tidak mengerti tentang hal apalagi yang menjadi sebuah pertimbangan berat hingga akhirnya harus membuat mereka berpisah selain fakta bahwa Dila harus kembali ke Jepang dan kemungkinan besar akan menetap di sana.

Namun saat ia membaca untaian kata yang tertulis secara rapi penuh dengan intimasi seakan pada saat Dila menulis surat tersebut, perempuan itu mencurahkan setiap perasaan yang terpoles di hatinya. Akhirnya kini ia mengerti apa yang menjadi titik balik Dila yang akhirnya membuat Dila memilih untuk mundur dari Kakaknya.

Ia kembali menyelesaikan tugasnya ketika Rivan keluar dengan satu buku kecil di genggamannya. Salsabila mengibaskan tangannya agar Rivan tak perlu membantunya di dapur. Kakaknya itu hanya tersenyum kecil dan akhirnya duduk di ruang tengah dengan mata yang terfokus pada apapun yang berada di dalam buku tersebut.

Ibunya hingga sekarang masih menutup mulut mengenai apa yang tertera dalam surat yang Dila berikan, namun ia yakin isinya pasti fakta lain yang tidak bisa diketahui oleh sembarang orang. Pasti kabar tersebut sangat menghantam perasaan Ibunya karena tiap kali ia membicarakan betapa nikmatnya biskuit cokelat buatan Dila, Ibunya yang sedang tersenyum pun bisa menunjukkan eskpresi kegundahan dan kesedihan yang mendalam dalam waktu cepat.

Ia tak tahu dan mungkin ia tak berhak untuk tahu, tetapi Salsabila tersenyum miring ketika kembali berpikir bahwa Dila memang benar merupakan sosok perempuan tegar yang bisa melalui banyak rintangan dalam hidup. Benar-benar rolemodel yang patut diacungi jempol.

Laura pun tak mengatakan apapun dan memang masuk akal karena ia harus tetap mengendalikan emosinya ketika suaminya harus direhabilitasi juga anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya. Tapi sesekali ia senang membantu Laura untuk mengurus dua keponakannya itu jika sedang tidak terlalu runyam dengan tugas kampus.

Setidaknya walau ia harus kehilangan sosok perempuan yang hampir menjadi anggota keluarga Maulana dan terjadinya beberapa kejadian yang tidak di inginkan, kondisi rumah kini sudah mulai membaik.

Salsabila mengangkat kantung terakhir yang berisikan sayuran dan mulai memasukkannya kedalam lemari pendingin dan entah bagaimana tiba-tiba Rivan sudah berada di depannya dan mengambil alih sayuran di tangannya. Salsabila sedikit memekik ketika melihat Kakaknya yang kini berwajah kemerahan dengan matanya yang berkaca-kaca penuh dengan ekspresi kekesalan dan rasa ketidakrelaan jelas terlihat. Suaranya serak penuh dengan perasaan yang sulit tersampaikan, rasa ngilu dan perih tercampur dari tiap ungkapan dan nada yang keluar dari mulutnya.

"Apa yang Dila katakan di surat yang ia berikan, Bil?"

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang