36. Pria di Masa Lalunya

378 33 3
                                    

Tidak dapat dipungkiri bahwa Rivan sudah terpeleset pada pesona Dila yang begitu teguh, percaya diri, dan tegas dalam artian yang tak seperti seorang perempuan lainnya. Ia mengaguminya tanpa ada keraguan. Mungkin Dila menganggap bahwa ini –hubungan mereka ini— hanyalah main-main. Namun ketika waktu terus berputar, Rivan sadar.

Sekian lama ia tak mempercayai lawan jenis.

Dila telah membuatnya mabuk.

Kali ini ia selalu menahan diri untuk tidak menyentuhnya.

Dila terlelap dengan Fairuz di pangkuannya. Dengan tangan yang secara posesif memeluk tubuh kecil itu. Rivan tersenyum, berpikir bahwa Dila akan menjadi seorang ibu idaman di masa yang akan datang.

Rivan terkesiap ketika ia secara tak sadar mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Dila. Tanpa adanya usaha untuk menggoda, rupanya Dila sudah mmembuat hati Rivan berdebar tak karuan.

Dila bergerak untuk membenahi posisi tak nyamannya. Rivan tak menarik tangannya dari puncak kepala Dila. Senyumannya terlihat semakin mengembang dan tak bisa ia sembunyikan lagi setiap rasa bahagia ketika melihat Dila dengan nyaman terlelap di dekatnya. Walaupun Dila begitu tertutup pada Rivan,  ia tahu suatu saat nanti Dila akan terbuka secara perlahan.

***

D

ring... Dring...

Mata Dila beralih pada ponsel disamping tumpukan kuas. Ia mengerang dan melemaskan anggota tubuhnya. Sejak pukul 2 pagi ia sudah berkutat dengan alat gambar. Bahkan beberapa bagian tangannya terdapat noda tinta. Ia kembali menghela napas dan membawa ponselnya.

Ayah.

Great. Sekarang apa yang ayahnya inginkan?

“Assalamualaikum.” Berusaha dengan kuat untuk tidak menguap.

“Dila. Dompet ayah sepertinya ada di tas kamu. Bisa kau antarkan ke rumah?”

Dila melihat jam dinding. Pukul 04.45. Ayahnya pasti sangat membutuhkan dompet. Ia sudah mandi dan mungkin berolahraga di sekitar rumah ayahnya akan cukup menyenangkan.

“Baiklah. Dila berangkat sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban ayahnya, Dila memutuskan sambungan panggilan itu dan berlari ke luar ruangan surgawi miliknya.

***

“Ayah tidak menyuruhmu untuk mengantarkannya sekarang.” Dila hanya tertawa lalu mengatakan bahwa ia ingin berlari di lingkungan ini.

Tanpa memerlukan penjelasan yang panjang, ayahnya kembali masuk ke dalam rumah sementara Dila mulai berolahraga. Mengawali hari dengan jogging tentunya merupakan hal yang terbaik meskipun Dila sebenarnya lebih senang bersepeda.

Embusan angin pagi yang begitu menyegarkan, rambut sebahunya bergerak tak begitu merepotkan, disertai alunan musik favoritnya, menjadikan olahraga kali ini cukup menyenangkan. Berlari sendiri pun terasa lebih cepat dan memuaskan.

Jalanan yang sepi ini adalah tempat yang begitu asri. Pohon-pohon rindang hanya menampilkan bayang-bayang keteduhan yang sunyi, cahaya matahari tak terlalu menusuk dengan suara gesekan antar dedaunan yang menjadikan tempat ini begitu memesona. Jalan ini selalu membuatnya tenang. Tak ada kendaraan, keributan, kemunafikan, kenaifan, hanya menyisakan sebuah suasana yang menyegarkan dan sunyi.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang