Kepulan asap muncul dari permukaan cangkir berisi carian hitam penuh kafein. Dua pria yang begitu berkharisma itu duduk saling berhadapan tanpa ada aura yang penuh dengan tekanan. Keduanya sama-sama tenang. Begitu berbeda dengan suasana hati yang mereka sembunyikan dari satu sama lain. Bagaimana pun mereka memiliki perasaan yang sama terhadap Dila.
“Jadi apa benar Dila baik-baik saja?”
Rivan memicingkan matanya dan membenahi letak kacamata yang sama sekali tak melorot itu.
Ia memang tak berhak untuk bertanya hal itu, namun ia sudah mencurigai ada sesuatu yang salah pada Dila ketika ia menyadari bahwa Dila begitu jarang berkumpul bersama Terra, Desi, bahkan Herlambang. Sesuatu yang jelas-jelas tak biasa bagi seorang Dila. Terlebih penampilannya yang terlihat sedikit berbeda dengan kedua pipinya yang tirus benar-benar mengganggu pikiran Rivan selama ia bekerja.Ia tahu bahwa Dila sibuk dengan segala keperluannya untuk pindah ke Jepang. Tapi sebagai atasan sementara Dila, ia juga tahu bahwa pekerjaan Dila tak akan begitu sibuk hingga ia kehilangan berat badannya. Dalam rapat pun Dila yang biasanya memberikan respon walaupun sedikit kini hanya duduk di kursi seperti patung dan sesekali begitu fokus pada laporan di hadapannya. Bukan sebuah pemandangan yang biasa bagi Rivan.
“Ia akan baik-baik saja.”
Nah... nah...
Perkataan Fadli tadi berhasil mengambil alih semua rasa penasaran Rivan. Apapun yang terjadi pada Dila merupakan sebuah masalah yang cukup besar menurutnya. Maka dari itu ia harus mencari tahu.
“Akan baik-baik saja?”
Ujarnya dengan nada yang begitu tajam namun lembut.
“Maaf, tapi bisakah saya bertanya sesuatu?”
Fadli meletakan cangkir dengan cara yang begitu elegan dan menatap Rivan dalam-dalam.
“Silahkan.”“Apa yang terjadi diantara kalian berdua? Saya tahu mengenai hubungan kalian yang sebenarnya.”
Rivan tak mengubah ekspresinya kemudian menatap cangkir di hadapannya dengan tatapan menerawang. Mungkin dengan mengatakan yang sebenarnya, ia akan mendapatkan jawaban yang ia inginkan dari Fadli. Satu tegukan, dua tegukan, tiga tegukan, akhirnya ia memilih untuk menyimpan cangkir itu kembali ke tempatnya.
“Aku sudah melepaskan Dila dan menemukan perempuan yang akan menjadi calon istri yang sesungguhnya.”
Satu kalimat itu mengubah wajah Fadli yang kuning langsat menjadi pucat pasi. Matanya membulat tak percaya, begitu tak mengerti dengan apa yang Rivan katakan. Mulutnya pun tak bisa ia hentikan untuk terbuka walaupun sedikit. Wajah Rivan yang cukup tenang membuatnya jengah. Rasanya ia ingin meninju wajah tampan itu dengan sekuat tenaga. Walaupun hal itu pasti akan sangat menyakitkan, namun rasa sakit yang Dila pendam dan bahkan tak membicarakan masalah itu pada Fadli benar-benar lebih dari itu.
Jika hanya menolak, Fadli bisa mengerti. Karena Dila tak menyukai sebuah perasaan yang dipaksakan dan pastinya Dila akan memilih untuk mundur dan mencari kesibukannya sendiri.Namun ini?
Sungguh tak dapat dipercaya.
“What?”
Fadli terbebas dari benaknya dan kembali bertanya.
“Apa? Ada masalah?”
Sudah cukup!
“What?! Are you nuts? Saya tak tahu apa masalah anda dengan orang terdekat saya, namun bagaimana mungkin anda melakukan hal itu pada Dila?!”
Nada tinggi-tinggi dan tekanan dalam gaya bicaranya membuat Rivan terlonjak. Pasalnya ia tak menyangka bahwa Fadli bisa berbicara seperti itu, terlebih umurnya yang lebih muda daripada Rivan. Belum sempat menjawab, Fadli sudah mengacungkan telunjuknya ke arah Rivan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...