72. Permintaan

226 20 1
                                    

Mereka sama-sama kehilangan kemampuan untuk berbicara. Dila mengondisikan ekspresinya sementara Amara masih terkejut mendapati Dila berada di toko bunganya. Berpenampilan begitu formal dengan kesan yang cantik luar biasa. Dila masih berdiri di sana seakan-akan ia memang sering ke tempat itu. Bagaimana pun Dila harus terlihat biasa saja meskipun ia sama terkejutnya seperti Amara.

“Mbak Dila, apa kabar?”

Amara tersenyum lalu mengulurkan tangannya yang tanpa ragu segera disambut oleh uluran tangan Dila.

“Baik, kamu?”

Amara mengangguk menandakan dirinya dalam kondisi baik-baik saja. Ia mengatakan bagaimana ia terkejut dengan keberadaan Dila sekaligus senang tak terkira mengetahui hal tersebut. Dila tak mengatakan apapun selain menganggukan kepalanya. Ia tak yakin bisa menjawab setiap perkataan Amara. Kemampuannya untuk berbicara lancar masih sangat kecil. Itu membuatnya ragu. Berusaha terlihat baik-baik saja agar tidak disadari oleh Amara.

“Jadi apa yang Mbak Dila butuhkan? Sebuket bunga mawar merah yang segar ini?”

“Aku ingin tiga buket bunga lily.”

Kalimat itu diakhiri dengan senyuman lalu Dila duduk di ruang tunggu sementara Amara segera mengerjakan tugasnya.

Dari posisinya yang berada di ruang tunggu, Dila bisa melihat Amara yang terlihat begitu serius dengan pekerjaannya. Tak lama kemudian beberapa pegawainya ikut membantu. Dila tersenyum tipis ketika melihat keanggunan Amara yang tengah merangkai bunga-bunga itu agar terlihat lebih indah. Ia merasa tidak salah membiarkan Rivan Bersama Amara. Gadis itu memiliki hobi yang begitu menawan. Ya, walaupun dirinya memiliki hobi seperti menggambar, membuat musik, dan lain-lain, dirinya tak memiliki hobi yang menawan dan elegan. Sedangkan Amara bisa melakukan hal semenawan itu. Ia sedikit iri karenanya.

Ia kembali mengingat saat ia mengikuti kursus merangkai bunga, ia sering kali terluka oleh duri dari bunga mawar. Itu membuatnya ngeri.

“Apa itu teman Nona?”

Dila tak mengalihkan perhatiannya dari Amara, namun ia hanya tersenyum lembut dan menganggukkan kepalanya pelan. Gerakan halus Amara terhadap bunga lily itu membuatnya terpukau dan secara tak sadar membuatnya terhipnotis untuk tidak mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.

Namun tentunya ia merasakan tusukan menyakitkan di ulu hatinya. Napasnya terasa sangat berat tiap kali mengingat Amara juga Rivan. Ini bukan karena hubungan mereka yang membuatnya sakit, tapi posisi Amara sangatlah rawan. Ia tidak ingin Amara menjadi gunjingan orang lain jika gadis itu mengetahui bahwa Dila masih memiliki hubungan bersama Rivan saat gadis itu memulai hubungan bersama Rivan. Mungkin bisa saja ia menyalahkan Rivan yang bisa dibilang berselingkuh dengan gadis lain.

Tapi siapa dia yang bisa menghakimi seseorang seenaknya?

Dila mengembuskan napas panjang ketika mengetahui bahwa pesanannya sudah siap.

“Biar saya yang ambilkan.”

Supirnya sudah mendahului pergi ke arah Amara, tanpa bisa mencegah Dila hanya duduk manis di tempatnya. Berpikir mungkin ia akan memeluk Amara saat berpisah nanti. Dengan itu Dila bangkit lalu menghampiri supirnya yang kini membawa tiga buket bunga lily yang indah dengan paduan warna hijau. Setelah memastikan bahwa Dila sudah membayar jasanya, Amara segera menghampiri perempuan yang kini berada di belakang supirnya.

“Mbak Dila, bolehkah aku meminta kontakmu?”

Tak bisa dipungkiri bahwa Amara bisa melihat keterkejutan di wajah Dila. Namun Dila dengan tangkas segera mengeluarkan kartu nama miliknya.

“Hubungi saja nomor ini. Senang bisa bertemu kembali denganmu.”

Tanpa basa-basi Dila segera membawa Amara ke dalam pelukannya lalu menepuk punggungnya dalam cara yang paling ramah. Amara secara tak sadar tersenyum.

“Berapa lama lagi Mbak Dila di Indonesia?”

Dirasa ragu untuk menjawab pertanyaan itu, Dila memandang supirnya.

“Nona Dila akan berada di Indonesia selama 2 hari lagi. Anda bisa menghubungi Nona nanti, kami harus segera pergi.” Supirnya membungkuk dan mendahului Dila.

Meskipun terdengar kejam, namun acara ini memang mengharuskannya datang tepat waktu. Maka Dila hanya melemparkan senyum terakhir sebelum ia mengikuti supirnya. Ia bisa melihat wajah Amara yang tiba-tiba murung dan terkesan kesulitan. Dilihat dari caranya berbicara tadi, Dila pikir gadis itu akan meminta bantuan padanya. Entah bantuan macam apa yang ia butuhkan tapi Dila tak bisa memikirkannya sekarang.

“Maafkan saya, Nona. Saya tidak tahu jika pemilik toko tersebut merupakan teman anda.”

Yah, karena seharusnya Dila tak bertemu dengan siapapun selain rekan kerjanya di kantor. Tapi beruntung Dila bisa bersikap seakan tidak ada yang salah dengan dirinya.

“Tenang saja.”

Dila tersenyum dan menatap keluar, cuaca memburuk dan terlihat akan hujan dalam waktu dekat. Dila merapatkan bibirnya. Kondisi pikirannya masih belum baik, ia masih berbicara terbata-bata walaupun untuk hal-hal mendadak ia terkadang bisa menjawab dengan suara yang tegas dan lantang. Namun tetap saja ia belum puas pada pencapaian pemulihan yang menurut orang banyak sudah ia lalui dengan cepat. Ini masih belum bisa memuaskan dirinya. Ia tidak bisa terus hidup di balik bayang-bayang orang lain. Bahkan kali ini banyak sekali orang yang mencari dan memburunya.

Ia merasa seperti seekor kelinci yang akan diserang oleh serigala.
Drrt… Drrt…

“Nona, ponsel anda bergetar.”

Sembari mengusap tengkuknya, Dila meraih ponsel yang berada di sampingnya dan segera melihat siapa yang mengiriminya pesan dan ia sama sekali tidak terkejut ketika menemukan nomor asing di ponselnya. Pasti kemungkinan besarnya adalah Amara.

Dan tebakan itu benar 100%.

Mbak, jika ada waktu bisakah kita bertemu esok hari di café dekat kantor? Ada yang ingin ku bicarakan.

Guyonan macam apa lagi ini?

Dila mengerutkan keningnya, ia merasa terbebani jika ia harus bertemu dengan Amara empat mata. Terlalu ceroboh dan berbahaya. Hal pertama yang membuatnya bingung adalah bagaimana caranya ia berbincang dengan Amara dalam waktu yang cukup lama tanpa terbongkar rahasia bahwa Dila tidak bisa berbicara dengan lancar. Kedua adalah pasti adanya mata-mata dari perusahaan rival yang mengikuti Dila.

Keduanya dapat menghasilkan resiko yang begitu fatal. Jika rahasianya terbongkar, Rivan dan keluarganya pasti akan segera mengetahui informasi tersebut. Jika mata-mata sampai mengikutinya, Amara akan ada di posisi yang berbahaya.

Aroma lily menyeruak di dalam mobil membuatnya kebingungan. Rintikan air hujan pun sudah berjatuhan secara perlahan dengan pergerakan yang melankolis membuatnya kelabu dan buram. Semuanya tiba-tiba terasa begitu dingin, kaku, dan jauh. Ia mengerutkan keningnya lalu mencoba untuk memastikan bahwa dirinya tidak melakukan hal-hal aneh dengan cara mencubit dirinya sendiri. Itu bisa membantunya mengatasi kekosongan pikiran yang secara tak sadar sering ia alami.

“Apa ada masalah Nona? Perlu saya panggilkan Tua—”

“Tidak. Aku tenang saja.”

Huh?

“Saya akan panggilkan Nona Airu. Anda sepertinya kembali mengalami kesulitan.”

Dila mendecih ketika ia kembali diingatkan bahwa seseorang yang kini bisa mengantarkannya kemanapun merupakan bawahan Airu. Ia bahkan merasa lebih jengkel ketika ia tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

“Itu seharusnya ‘aku baik-baik saja’ Nona.”

Yup! Just great. Ia seharusnya berbicara seperti itu.

“Terima kasih.”

“Anda hanya memiliki waktu sebentar untuk diner bersama pegawai dari Jepang. Setelah itu anda ditunggu oleh Tuan Fadli.”

Oh? Jadi ia mendadak akan mengadakan terapi?

Ia hanya memutar bola matanya kesal dan mengembuskan napas jengkel.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang