55. I Wish That I Could Do it Again

286 28 2
                                    

“A-apa? Apa kau bertemu dengan Angga?”

Dila menggeleng cepat-cepat lalu satu tangan yang lain menyentuh dadanya yang terasa begitu sakit dan sesak. Ia merasakan sesuatu yang tak enak, seakan ada sebuah dosa yang belum terbayar. Secara memaksa membunuhnya secara perlahan dengan depresi yang kian meningkat. Selalu saja seperti ini jika ia merasa bersalah.

Maya dan Lina membantu Dila untuk melangkah dan mendudukkannya di salah satu sofa. Mereka tentu saja terkejut dengan kondisi Dila yang selalu menangis tiba-tiba. Jika Dila menangis, itu mengartikan bahwa ia sudah tak bisa menahan emosinya. Dengan kata lain ia sudah menyembunyikan sesuatu begitu lama.

“Lalu apa yang terjadi?”

Yuni duduk dan menempatkan lilin aroma terapi juga teh di meja. Dua hal itu merupakan sebuah komposisi utama agar Dila tenang.

Dengan perlahan dan penuh isakan kencang di setiap akhir kalimatnya, akhirnya Dila menceritakan mengenai apa yang telah terjadi antara dirinya dan Rivan akhir-akhir ini. Tak ada seorang pun yang tak terkejut. Mereka semua mengetahui apa yang sudah Dila lalui di masa lalu, dan cerita ini seperti mengingatkan mereka pada mimpi buruk dari sebuah hubungan roman buruk Dila.

“Minumlah, kau sudah tenang dan sekarang lebih baik tidur. Aku akan memberi tahu Pak Tsunemori agar mengizinkan mu untuk beristirahat. Dua minggu lagi kamu akan segera pindah ke Jepang.”

Maya mengeluarkan botol kecil yang merupakan botol obat tidur lalu menyerahkannya pada Dila.

Namun Dila tak bergerak sedikitpun, ia lebih fokus pada suasana malam yang dingin dan basah karena hujan menguyur di luar sana. Hitam pekat yang dingin itu selalu ada di mimpi-mimpi buruk Dila tiap malam. Membuatnya merinding lalu beringsut untuk memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya menggigil hebat dan giginya bergemeletuk tak terkendali seakan ia sudah berada di sebuah tempat yang begitu dingin.

“Dila. Hei, Dila! Kau dengar aku?”

Maya mengeluarkan senter khusus dan mengarahkannya pada bola mata Dila.

“Tolong… keluarkan aku… dari sini.”

Ujarnya terbata-bata dengan tubuhnya yang semakin bergetar.

“Lina tolong pegang tangan kirinya. Yuni coba ajak Dila untuk berbicara. Pastikan ia mengetahui bahwa ia aman.”

Maya yang sudah berada di depan tas khusunya segera mencari-cari sesuatu yang ia butuhkan. Lalu mengeluarkan alat suntik untuk mengeluarkan cairan di botol kecil. Lina segera memelototi Maya yang ia kira akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak pada Dila.

“Dila mengalami delusi, mungkin akan semakin parah berhubung ia mungkin tidak tidur jika dilihat dari kondisinya sekarang. Maka aku akan membiusnya. Peganglah tangan Dila.”

Secara perlahan cairan itu masuk ke peredaran darahnya, pandangan Dila memudar dan tubuhnya berhenti gemetar. Ia akhirnya bisa beristirahat dengan nyaman walaupun dengan bantuan obat.

“Obat bius ini bertahan hingga 4 sampai 5 jam. Aku tak akan bisa memberinya obat bius lagi, mari kita berharap Dila akan kembali normal saat bangun nanti.”

Sementara di sisi lain, Rivan masih memandang kosong ke arah dinding tanpa memerdulikan keberadaan ibunya. Ia cukup shock menyadari bahwa Dila menolaknya. Ia mengakui bahwa ia salah karena telah berpikir yang tidak-tidak mengenai hubungan Dila juga Fadli. Namun hatinya lebih tersayat ketika mengetahui begitu banyak hal yang Dila sembunyikan dari dirinya. Entah karena alasan apa tetapi itu sangat mengganggu.

Ruangannya dingin dan sesak. Begitu kental dengan suasana kelabu hati Rivan yang mengaduh sakit. Kebodohan menyakitinya secara perlahan. Masa lalunya kembali memenuhi pikirannya. Wajah tersakiti Dila itu benar-benar mencerminkan wajah kekasihnya yang telah berhasil membuat Rivan mengidap phobia ini.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang