Dila tidak tahu kapan salju pertama akan turun. Menurut perkiraannya, salju akan segera turun paling lambat empat sampai lima hari lagi. Ia bisa merasakannya dari suhu udara yang kian hari kian mendingin. Akhirnya ia akan kembali bertemu dengan musim yang menjadi favorit nya, musim yang selalu membawa kerinduan pada negara kecil impiannya. Saat salju turun, ia akan merasa lega karena akhirnya ia akan semakin yakin bahwa kini ia tidak berada di tempatnya berasal.
Ia berdiri di tengah ruangan apartemen dengan pandangan kosong yang terarah pada langit senja dan hiruk pikuk di balik kaca yang membatasi dirinya dengan dunia luar. Berusaha tidak memikirkan apapun namun pada akhirnya ia memikirkan segala hal yang, tampaknya baik diakui maupun tidak, sangatlah mengganggu dirinya.
Fadli tidak memberikan sedikitpun kabar sejak terakhir kali ia mengantarkan Dila bekerja. Yang berarti pria itu sudah satu minggu menghilang dari radar. Dila mengerutkan keningnya, mencoba untuk mengusir segara pikiran tak wajar yang kini mulai menghinggapi dirinya.
Apakah ia melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan Fadli?
Apakah pria itu sudah muak dengan segala hal yang terjadi pada dirinya?
Lagi-lagi Dila menarik napas dalam. Ia tahu bahwa cepat atau lambat Fadli akan meninggalkannya dan tentu saja ia tak akan bisa menyalahkan pilihan pria itu. Seharusnya dirinya lah yang ia salahkan, ia sudah membuat Fadli terus berada disampingnya. Bodoh memang dirinya yang bersikap egois mempermainkan kehidupan orang lain untuk keuntungan dirinya sendiri.
Ia sudah memanfaatkan Fadli untuk menjadi seseorang yang mengangkat dirinya kembali kepermukaan ketika ia mulai tenggelam. Ia sudah memanfaatkan Ayah Fadli untuk membantunya bangkit dari koma yang hampir merenggut nyawanya. Ia sudah memanfaatkan kebaikan Ibu Fadli untuk memohon pada Pak Tsunemori agar ia bisa kembali ke Jepang secepat mungkin.
Ia sudah memanfaatkan seluruh anggota keluarga Fadli demi kepentingan dirinya sendiri.
Demi ego yang ia miliki.
Oh, tidak. Aku tidak bisa menahannya.
Dengan tergesa-gesa Dila bangkit untuk membawa ponselnya. Ia mulai merasakan adanya tekanan kuat di dada yang membuat dirinya kesulitan untuk bernapas. Bagaimanapun juga ia tahu bahwa itu bukanlah tanda yang bagus. Matanya menelusuri tiap kontak yang tertera pada ponselnya, hingga ia menemukan apa yang ia cari. Ia harus menghubungi Fadli saat itu juga.
Mencoba untuk menenangkan diri, ia menggenggam kuat ponselnya, berharap-harap cemas agar Fadli dapat mengangkatnya secepat mungkin. Secepat yang biasa ia lakukan ketika Dila memanggilnya. Matanya memanas beserta hidung yang ia rasa tidak dapat memberikan suplai udara yang cukup. Air matanya mengalir, seperti lelehan es di musim panas.
Apakah semuanya akan berakhir seperti ini?
***
"Apa benar kau akan melakukan hal itu?"
Airu tak lagi menghiraukan secangkir kopi yang sudah mendingin dihadapannya. Matanya memicing kearah pria berwajah oriental yang sering Dila sebut sebagai pria idaman anak SMA. Ia duduk dalam segala ketegangan dengan tunangannya yang mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Kau tau sendiri, Airu. Aku terluka melihatnya terluka."
"Well, duh. Kini ia baik-baik saja bukan?"
Jelas sekali dari raut wajahnya, Airu terlihat begitu geram sampai-sampai ia berani memutar bola matanya terhadap Fadli.
"Ya, ia mengalami perkembangan pesat setelah ia kembali ke negara ini. Tapi aku tidak bisa menjadi bayang-bayangnya. Aku adalah bagian dari masa lalunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...