Denia memejamkan matanya yang kini berair dan memegang kuat-kuat pada ponsel Dila. Di luar sana, ia masih bisa mendengar rintihan Dila yang sesekali disela dengan suara hantaman tubuh. Dari kamar Dila, Denia mengintip kekacauan yang di buat ayahnya. Tak pernah sekali pun ia melihat ayahnya berlaku sekeji itu. Iya, ia memang pernah menyaksikan ayahnya memukul dan menampar kakaknya, namun ia tak pernah mendapatkan pukulan seperti itu dari ayahnya. Kakaknya selalu mendapatkan kemurkaan ayahnya hanya karena hal-hal sepele. Berbanding terbalik dengan dirinya yang hidup nyaman tanpa dihantui setiap ancaman dan kemungkinan untuk di aniaya.
Ibunya tak berbuat apapun karena luka di bahunya. Sungguh, ia merasa tidak berguna dan hanya bisa menangis menghadapi situasi seperti ini.
"Ke-kenapa Ayah?!"
Suara parau itu sampai ke telinga Denia. Ia melihat punggung Dila yang baru ia sadari sangatlah kecil, kakaknya menatap Ayah lama-lama. Dari belakang, ia bisa melihat setiap luka gores yang tercipta karena kakaknya menggaruk kulit itu dalam-dalam, helaian-helaian rambut di sela-sela jarinya, rambut yang acak, dan bahu yang bergetar.
"Aku... ti—tidak..."
Ia tak mengerti apa yang Dila maksud namun sedetik kemudian Dila berteriak parau selayaknya hewan yang kehilangan partnernya. Menjerit hingga kehabisan napas. Serigala yang kehilangan pasangannya. Lagi-lagi Dila membantingkan tubuhnya pada dinding sementara Ayah tak melakukan apapun selain diam membisu.
"Kenapa?! Kenapa Ayah?!"
Mata Dila memerah. Sorot matanya penuh dengan kebencian dan ketakutan. Yang ia lihat, Dila seperti kehilangan arah dan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia mematung dengan air mata yang mengalir ketika melihat kakaknya mulai melirik kesana-kemari dengan cepat, menjerit, dan mundur secara paksa hingga punggungnya menempel ke dinding dengan rapat. Kembali memekik dan menarik ujung rambutnya.
Seakan nyawanya kembali ke dalam tubuh, Ayah akhirnya bertindak. Ia memegang lengan atas Dila yang kemudian segera di respon dengan menjauhnya tubuh Dila dari sentuhan tersebut.
"Assalamualaikum, Denia!"
Tanpa basa-basi, Denia berlari menuju pintu utama dan menemukan Fadli yang dengan penampilan acak terlihat panic dan terengah-engah. Denia tak mengatakan apapun selain memberikan isyarat pada Fadli untuk mengikutinya. Fadli tahu ini adalah hal yang buruk ketika ia mendengar Dila memekik dan memerintahkan seseorang untuk menjauh darinya.
Ia membeku.
Dila terlihat kacau dan kehilangan akal. Matanya tak lagi menunjukkan bahwa itu adalah Dila, Maulin, ataupun Caroline. Ini adalah cara pandang yang sangat berbeda dan ia tak tahu apa yang terjadi sebelum ia sampai kesini. Ibu tiri Dila duduk bersimpuh sembari memegangi bahunya dan terisak tanpa mengalihkan pandangan dari Dila. Denia bahkan tak malu untuk menunjukkan bahwa dirinya sedang menangis.
Jika hipotesisnya benar, penyebab semua ini adalah Ayah Dila yang kini sedang bertanya dan membujuk Dila untuk berhenti berteriak dengan nada yang pelan namun terkesan tegas dan memaksa. Dalam sekali embusan napas memerintahkan Denia untuk membereskan barang-barang Dila.
Fadli menghela napas perlahan, mencoba untuk tenang. Kemudian ia menepuk bahu Ayah Dila dan itu merupakan sebuah pilihan yang salah karena ia kini menatap wajah keras dan mata merah yang menyeramkan.
"Jangan ikut campu—"
"Biar aku selesaikan."
Fadli secara paksa mengenyahkan keberadaan Ayah Dila dan duduk di hadapan Dila yang kini sedang melindungi dua sisi kepala dengan lengannya. Ia meringkuk dan menggigil, itu membuat Fadli menggigit bibir dan tetap mencoba untuk tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...