Mata bulatnya menatap ruangan yang tak asing lagi. Ruangan dengan warna yang mendominasi abu dan hijau itu tentunya merupakan kamar yang selalu ia tempati selama dua tahun terakhir.
Mungkin ia tahu bahwa ada sesuatu yang asing dari kondisi rumahnya. Walaupun ia sering sendirian di rumah yang begitu luas itu, ia tahu bahwa suasananya tak akan sehening ini.
Langkah yang gontai membawanya ke ruang keluarga yang tentunya berhadapan langsung dengan halaman belakang yang menawarkan sebuah keindahan memesona dengan setiap bayangan cahaya lampu yang menambah kesan hangat.
Namun matanya berhenti pada sosok di sudut halaman belakang. Tubuh itu, ia tahu bahwa itu adalah tubuhnya. Menggunakan pakaian berwarna biru langit yang terhempas angin secara perlahan. Menghadap ke mawar-mawar putih yang bermekaran indah di sudut yang cukup luas.
Bukan itu yang mengambil alih perhatiannya.Perhatiannya hanya tertuju pada tangan kanan dirinya yang lain. Tangan halus itu menggenggam erat sesuatu yang berbentuk panjang dan bercahaya di bawah sinar rembulan.
Matanya membulat sempurna, menatap rak pisau di dapur dan menyadari bahwa satu buah pisau paling besar menghilang dari tempatnya.
Tanpa pikir panjang ia berlari ke arah pintu menuju halaman belakang yang ternyata terkunci rapat-rapat dan bahkan suaranya pun tak bisa terdengar oleh dirinya yang lain.
Tangan halus itu terangkat, mengacungkan pisau yang kini terlihat lebih jelas ke langit. Seakan ia akan melakukan sesuatu yang ajaib dengan benda itu. Tubuhnya masih menghadap mawar putih yang bermekaran.
Dila menutup matanya ketika mendengar teriakan menyakitkan disertai darah yang menciprat serta menyucur dari tubuh dirinya yang lain. Warna merah menghiasi beberapa mawar putih yang tak lagi suci. Kematiannya di depan mata dan dengan bahasa tubuh yang lemas, dirinya yang lain jatuh terkulai pada taman mawar. Mendapatkan sebuah goresan-goresan dalam dari wajah yang tak lagi bercahaya.Mata kosong itu menatapnya dari ujung taman bunga mawar.
“MAAFKAN AKU! TOLONG!”“Dila! Dila! Hei! Bangun!”
Lina menggunakan teknik paling ekstrem untuk membangunkan Dila. Ia mencubit lengan Dila beberapa kali karena hanya dengan menggoyangkan tubuh Dila saja sudah tidak ada pengaruh sedikitpun. Tubuh Dila begitu berkeringat dan wajahnya terlihat begitu tegang seakan ia sedang melihat hantu walau dengan mata tertutup.
Dila kejang dan akhirnya terbangun dalam posisi duduk dan napas yang terngah secara intens. Matanya menunjukkan ketidak fokusan dan wajahnya begitu pucat seakan ia tak pernah memiliki jiwa di tubuhnya. Cat mengeong cukup lengking dan masuk ke dalam kamar, meloncat secara anggun ke tempat tidur dan berdiam di salah satu ujung tempat paling empuk.
“Hei, kau lihat aku? Itu hanya mimpi buruk. Kau aman.”
Yuni datang membawa handuk kering dan basah. Lalu membawa atasan baru untuk Dila kenakan. Sementara itu Dila sudah bisa mengondisikan laju napasnya.
“Jangan katakan ini pada Fadli.”
***Rambutnya tak lagi menunjukkan sebuah kilauan yang berarti. Tak juga terlihat kusam. Mata merahnya selalu tersembunyi di balik kacamata seperti biasa. Wajahnya semakin tak menampilkan sebuah kesan hangat yang biasanya selalu menghiasi paras cantik itu.
Ia semakin sulit untuk tidur. Bahkan setelah tiga minggu mengalami insomnia yang cukup parah, ia sudah menyelesaikan begitu banyak chapter komik dan dua naskah novel yang tentunya cukup tebal. Menghabiskan malam-malam dengan berdoa pada Yang Maha Esa juga bekerja keras untuk menghilangkan bayangan buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]
RomanceDILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila kapan kamu mau nikah?" Permintaan sulit dari sang ayah yang dirasa mustahil pun terucap. Membuat Dila dihantui bayang-bayang akan pernikahan...