42. Apa?

336 42 24
                                    

"Kau tahu berapa banyak uang yang ku keluarkan untukmu hah?!"

Dila hanya terdiam, ia bahkan enggan untuk menjawab setiap pertanyaan yang kini sedang ayahnya lemparkan.

"Bagaimana mungkin kau, anakku, terlihat baik-baik saja dengan kegagalan fatal mu ini!"

Tubuhnya yang kecil itu seakan tenggelam kedalam bumi tiap kali ia mendengar ayahnya berteriak. Tentu ia tahu bahwa pria yang ia sebut sebagai ayah itu sedang marah besar. Ia kembali menunduk dan meminta maaf.

"Ayah tidak pernah mengajarkan mu untuk bermalas-malasan seperti itu! Inilah buktinya! Kau adalah kegagalan besar, Dila."

Dila yang menunduk tanpa mengekspresikan rasa kesal dan sakitnya terkejut ketika ayahnya melemparkan pundi-pundi uang ke tubuhnya.

Sakit.

Tak diinginkan.

Terbuang.

Sebuah kegagalan.


Tubuh Dila menegang dan terbangun secara tiba-tiba. Ia tak senang ketika tiap kali ia terbangun tubuhnya penuh dengan cucuran keringat yang menunjukkan bahwa ia tak tidur nyenyak. Sudah semalaman ia tak bisa tidur, adapun ia mencoba hasilnya selalu sama, mimpi buruk akan mengikutinya.

Entah mengapa ia kembali bermimpi kejadian yang hampir saja membuatnya gila. Saat-saat dimana ayahnya mulai tak mempercayai dirinya. Anak pertama yang harus selalu berprestasi membuat ayahnya begitu terpancing dengan segala ego dan mengekspektasikan Dila agar selalu menjadi yang tebaik. Itu benar-benar membuat Dila tertekan dan akhirnya ia jatuh. Namun tak ada seorang pun yang membantunya untuk kembali bangkit.

Ayahnya bahkan tak membantunya untuk kembali menggenggam sebuah kepercayadirian, ia tenggelam dengan rasa kecewa juga bersalah. Seakan semua yang terjadi padanya merupakan kesalahan yang ia buat secara murni tanpa ada campur tangan orang lain.

Dila yang kini sudah terbangun hanya mengela napas panjang dan menatap langit yang sudah cerah. Ia terlambat dan harus segera bergegas.

Tanpa memakan waktu yang lama, Dila sudah siap dengan segala kesadarannya. Walaupun ia kelelahan tanpa alasan yang pasti, namun ia merasa beruntung mengetahui bahwa Yuni sudah menyiapkan sarapan untuknya.

"Mbak Dila terlambat?"

Yuni mengangkat pandangannya menemukan Dila yang kini menggunakan kacamata yang mengartikan bahwa ia tak bisa tertidur semalaman.

"Yup dan aku harus bergegas. Siapkan aku roti dengan selai cokelat juga apel. Untuk susu biar aku beli di kantin kantor saja."

Dila berbicara dengan kedua tangannya yang sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas tangannya lalu ia kembali kedalam kamar untuk membawa hal yang tentunya ia lupakan.

"Wah... seorang Maulin terlambat merupakan hal yang fenomenal dan jarang terjadi."

Lina keluar dari kamar mandi tamu dengan tenang dan menyindir Dila yang kini tergesa-gesa menghampiri Yuni yang sudah menyiapkan roti selai cokelat.

"Kalian tak usah menungguku pulang. Aku mungkin akan pulang terlambat. Buatlah makan malam sendiri."


***

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang