13. Pengakuan

952 68 8
                                    

'Siapa yang ingin menjadi pendamping dari perempuan keras kepala sepertimu?'
'Kau itu penipu.'
'Apa kau tak malu karena kemunafikan dirimu itu.'
'Dila? Si perempuan bermuka dua?'
'Kau itu Egois Dila.'


Dila terbangun, dadanya terasa sesak. Napasnya memburu begitu menyakitkan. Dengan cepat ia duduk dan memperhatikan posisinya. Posisi tidur yang tak menyenangkan karena ia sadar bahwa ia masih dalam balutan mukena dan tertidur dalam posisi meringkuk penuh kengerian. Mimpi yang cukup menyeramkan. Dila mengusap wajahnya, berharap ia tak dihantui oleh mimpi-mimpi aneh itu.

Duduk tenang sembari melipat mukena, ia lihat jam dinding.

2 dini hari.

Great.

Ia yakin bahwa ia tak akan bisa tidur nyenyak jika seperti ini. Bangkit dan merenggangkan tubuh, ia rasa seluruh tubuhnya begitu kaku. Berjalan dengan gontai di tengah kegelapan menuju dapur. Dila bahkan tak repot-repot untuk menyalakan lampu. Ia terlalu malas untuk hal itu dan ia tak membutuhkannya. Jika ia menyalakan lampu, pembayaran listrik akan meningkat karena ia tahu bahwa ia akan malas mematikannya.

Seteguk air mineral dingin kembali menjernihkan kepalanya. Lalu Dila mendesah pelan. Ia pikir mimpi itu tak akan kembali. Mimpi di mana ia mendengar seluruh hujatan untuknya. Rentetan kalimat yang menyeramkan.

Dengan perlahan ia kembali ke kamarnya. Ia setidaknya ingin duduk nyaman di kasur yang ia banggakan. Dila memperhatikan ponselnya. Lalu tak pikir panjang ia segera membawanya. Mungkin saja ada pesan atau apapun itu yang penting.

1 message.

Rivan

Dila berkedip beberapa kali. Ia menatap nama si pengirim pesan. Lalu tatapannya beralih pada jari manisnya. Terdapat cincin yang sedikit longgar di sana. Ia menggosok kedua matanya. Lalu kembali menatap cincin itu.

"Hei, aku pikir itu semua hanya mimpi."

Ia menepuk kedua sisi pipinya dan segera membuka pesan dari Rivan.

'Maaf mengganggu waktu istirahatmu, aku lupa menanyakan kapan tepatnya aku bisa bertemu dengan Ayahmu.'

Dila menatap langit-langit. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Rivan dapat seyakin itu untuk menjadikan Dila sebagai istrinya. Lalu ia mengingat perbincangan di cafe itu. Saat dimana ia sudah menerima tawaran Rivan. Memakai cincin di jari manisnya. Lalu tak disangka-sangka Rivan meminta waktu untuk bertemu dengan kedua orang tua Dila.

Ia frustasi akan hal ini.

Lelaki yang menjadi atasannya, melamarnya, lalu meminta untuk bertemu dengan orang tuanya. Secara mendadak. Ia menyesali hal ini sekarang. Tak tahu apa yang akan Dila sampaikan pada ayahnya. Tak mungkin ia berkata...

'Ayah, aku membawa lelaki yang akan menjadi suamiku. Ini dia.'

Kau kira itu hanyalah sebuah guyonan?!

Dila lelah.

Lalu ia kembali mengingat Ibu Rivan. Seorang mertua observan sepertinya akan sangat mengkhawatirkan. Namun selebihnya, ia adalah Ibu idaman. Cukup baik dan sangat perhatian pada anak-anaknya. Berlaku sebagai teman bagi anak-anaknya.

Patut diacungi jempol.

Ia berpikir ada waktu yang tepat untuk mempertemukan Ayah dengan Rivan.

***

"Kau yakin Ayahmu sedang tidak sibuk?" Rivan sesekali menatap Dila. Namun tetap berkonsentrasi dalam berkendara.

"Ayahku tak sesibuk itu. Jadi tenang saja."

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang