Vedro datang lagi dan terlihat sangat tulus padanya, tetapi keadaannya tidak memungkinkan untuk saat ini. Sama saja ia terlihat seperti perempuan lain. Shakila terus berlari dan menyetop sebuah taksi. Ia sangat membutuhkan kamarnya, ia ingin menangis sepuas-puasnya.
Shakila tidak tahu lagi sudah berapa banyak air mata yang sudah di keluarkan sejak setengah tahun yang lalu. Sepertinya berbagai macam masalah yang datang silih berganti tidak membiarkannya bernafas lega. Mereka seakan-akan menyiksa jiwa dan raganya.
Shakila sungguh tidak tahan lagi. Shakila ingin semua ini cepat berlalu. Shakila ingin kembali normal.
Tetapi seberapa banyak pun Shakila menangis, tetap saja masalah itu semakin bertambah. Kepalanya semakin berdenyut dan membuat ia semakin pusing. Sakit, sakit sampai ulu hatinya.
Shakila mengencangkan tangisnya dan menjambak rambut. Rambut yang dulu terlihat lebar dan berkilau, kini semakin kusam dan menipis. Stress yang di alaminya membuat rambutnya rontok setiap harinya. Terkadang hanya sekali saja ia bersisir hendak berangkat kerja untuk mengurangi kerontokannya. Sering kali Shakila meneteskan air mata melihat rambut yang berlengketan di sisir. Ia pun mengumpulkannya dan memasukkan ke dalam plastik.
Meski begitu berat masalah yang di tanggungnya, Shakila tidak pernah bercerita kepada orang tuanya. Ia memendam rasa itu semua sendirian, tidak pernah berbagi pada siapapun. Rasanya ia tidak sanggup.
Shakila mengusap wajahnya dan buru-buru memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper. Tekadnya sudah bulat. Ia rela menanggung aib ini nanti.
Setengah jam kemudian, Shakila meremas tangannya hingga memutih. Ia melihat ke samping, berbagai bentuk bangunan di lewatinya. Ia berada dalam sebuah taksi. Mencari tempat bersembunyi untuk sementara waktu mungkin bisa menenangkan pikirannya.
Shakila mengetuk pintu sebuah rumah bercat cokelat. Dua kali mengetuk, tetap saja pintu itu tidak terbuka. Shakila pun menghela nafas panjang. Ia semakin frustasi, sebelumnya ia tidak memberi kabar akan datang.
Ketukan ketiga, akhirnya pintu itu terbukan dan menampakkan wajah Adresia. Gadis itu menyerngit melihat koper yang di bawa sahabatnya. "Shakila? Ada apa?"
Shakila meneteskan air mata dan memeluk erat sahabatnya. Sunggguh, ia butuh sandaran saat ini. Ia telah memikirkan sebelumnya tujuan yang akan di datangi. Mungkin setelah ini, kedua sahabatnya tidak akan mau lagi berteman dengannya, atau bertegur sapa.
"Adresia, aku lelah. Aku tidak tahan lagi dengan semua ini. Kepalaku mau pecah" ucapnya kesegukan.
"Ada apa, Adresia? Siapa yang datang?" Laela menyerngit. Ia baru saja datang dari kamar mandi. Handuk di kepalanya masih menggulung guna mengeringkan rambut. "Sha? Ada apa?" Laela menghampiri mereka.
Seakan mengerti, Laela menarik koper Shakila dan mengikuti mereka duduk di sofa. "Ada apa, Sha? Ayo cerita pada kami" Adresia menatap sendu sahabatnya.
"Aku hancur, Sia, La. Aku hancur" raungnya.
Kedua sahabatnya menyerngit, "Maksud kamu?" tanya mereka hampir bersamaan.
"Aku hancur, aku tidak bisa memegang perkataanku sendiri" ucapnya pelan.
"Pelan-pelan, Sha. tenangkan dulu pikiranmu," Adresia menerima segelas air mineral yang di sodorkan Laela. Shakila pun meneguknya dan menghembuskan nafas berat.
Adresia meletakkan gelas di meja dan menatap Shakila, "Ada apa? Ayo cerita," ucapnya.
Shakila memejamkan mata dan berkata, "Aku hamil,"
Adresia dan Laela melebarkan mata. Sungguh seperti tertimpa beban yang sangat amat berat sehingga mereka tidak bisa berkata lagi. Laela menutup mulut tidak percaya, tetapi pengakuan Shakila terus mengiang-ngiang di telinganya. Ia sangat berharap jika ini semua hanya mimpi atau lelucon semata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Romance [TBS #1]
RomanceKetika hati di kacaukan oleh dendam *** Shakila hanya seorang gadi biasa yang mengadu nasib di ibukota untuk mengubah derajat keluarganya yang tinggal di desa. Gadis itu bekerja sebagai sebagai pegaeai di sebuah bank. Gadis baik-baik tanpa nek...