Shakila meringis di atas tempat tidur. Dia terbangun lalu melirik jam digital di atas nakas. Jam setengah tiga malam. Rasanya waktu lama sekali berputar, Shakila tidak bisa tidur nyenyak sejak tidur tadi. Berusaha bangun, Shakila meluruskan kakinya dan bersandar di ujung ranjang. Keringat bercucuran di dahi, begitu pun dengan air matanya. Shakila tidak sanggup menahannya lagi. Seluruh tubuhnya begitu sakit sekali hingga ke persendian, begitu pun dengan perutnya. Kram dan rasanya ingin jatuh.
Mengulurkan kedua tangannya untuk menekan-nekan kakinya, tetapi perut menonjolnya menghalangi. Sehingga kedua tangannya tidak sampai kaki. Shakila ingin meraung sehisteris mungkin, tetapi dia bukanlah gadis manja yang menyerah tanpa usaha.
Bisa saja meminta Andhy memijit kedua kakinya, tetapi dia tidak ingin menggangu laki-laki tersebut. Selama ini dirinya sudah banyak merepotkannya. Dengan keadaannya yang dinyatakan tidak normal, Andhy begitu kerepotan sehingga tidak sempat mengurus dirinya sendiri.
Shakila sadar diri, sehingga sebisa mungkin mengerjakan sendiri. Mengurus dirinya sendiri agar nantinya tidak merasa berhutang budi meski laki-laki itu yang membuatnya demikian. Shakila terlalu memikirkan semuanya. Lagi pula laki-laki itu bukan siapa-siapanya. Dia hanya ayah dari bayi yang dikandungnya. Tentu saja Shakila tidak menginginkannya meskipun begitu.
Berusaha mengangkat kedua kakinya, Shakila menurunkannya ke lantai. Menyentuh marmer yang sangat dingin hingga menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia menjacari pegangan, meraih kepala tempat tidur lalu berdiri.
Mengenakan sandal rumah di samping tempat tidur yang sudah di sediakan oleh Andhy sebelumnya. Lalu berjalan di pinggir dinding. Menjadikannya sebagai tumpuan agar biasa berjalan. Membuka pintu kamar secara perlahan-lahan. Ekor matanya menemukan Andhy tidur menyamping di sofa dengan kaki ditekuk.
Andhy telah mengganti sofa tersebut beberapa minggu yang lalu. Mengganti dengan yang lebih besar sehingga kakinya tidak perlu terjungkai di bawah. Menjadikan tempatnya tidur, sementara kamar menjadi wilayah Shakila.
Shakila menyeka air matanya. Menahan isak tangis yang tidak bisa dibendung lagi. Terus melangkah setelah menutup pintu kamar. Masih bertumpu pada dinding sehingga membutuhkan waktu lebih lama menuju dapur daripada biasanya.
Mengambil gelas lalu mengisi dengan air hangat. Shakila membawanya ke meja makan. Menarik salah satu kursi kemudian duduk secara perlahan-lahan sembari memegang perutnya yang seperti hampir jatuh.
Terengah-engah setelah menghabiskan setengah gelas, Shakila meletakkannya di atas meja. Keringat dingin membanjiri pelipisnya, begitu pun dengan air matanya yang kembali meluruh tanpa bisa dihentikan.
Menelungkupkan kepala di tas meja. Shakila kembali terisak. Tidak sanggup menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dengan posisi apapun rasanya tidak enak. Selalu salah dan dia tidak tahu bagaimana untuk mengurangi rasa sakitnya.
Bahkan duduk begini pun rasanya sangat menyiksa. Meski menangis tidak bisa mengurangi sakitnya, tetapi Shakila tetap menangis. Mengeluarkan air mata hingga meja tersebut terasa sembab.
Shakila tidak menyangka jika sedang hamil akan mengalami sesakit ini. Seluruh tubuh tercabik-cabik seolah maut hendak mencabutnya.
"Sha...," Shakila masih menundukkan kepala. Menyembunyikan wajahnya pada lipatan kedua tangan. "Ada apa?" Andhy mendekat dengan wajah panik, mengelus rambutnya. Merasakan badan Shakila bergetar karena menangis.
Shakila menoleh, tetap menumpukan wajahnya pada meja. "Sakit." Jawabnya pelan. Andhy meraih tangannya. Menggenggamnya erat seolah ingin berbagi rasa sakitnya. Shakila membalas genggamannya lebih kencang sehingga Andhy melirik tangan gadis tersebut telah memutih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Romance [TBS #1]
RomanceKetika hati di kacaukan oleh dendam *** Shakila hanya seorang gadi biasa yang mengadu nasib di ibukota untuk mengubah derajat keluarganya yang tinggal di desa. Gadis itu bekerja sebagai sebagai pegaeai di sebuah bank. Gadis baik-baik tanpa nek...