Broken Romance - 30

64.5K 3.1K 121
                                    


Tiga minggu telah berlalu, namun sama sekali tidak ada perubahan sedikitpun. Andhy semakin khawatir, pasalnya Shakila semakin irit berbicara. Gadis itu lebih banyak menghabiskan waktu merenung seperti sebelumnya. Jangankan untuk berbicara, makan atau minum saja dia enggan.

Jika biasanya Shakila masih sadar sesekali, namun untuk kali ini sama sekali tidak lagi. Bahkan mencuci atau memasak pun tidak. Dia melepaskan semua yang pernah dikerjakannya. Juga menutup mulut serapat mungkin.

Meskipun Andhy membawanya ke berbagai tempat, tetap saja gadis itu diam tanpa suara. Terkadang apa yang diberikan Andhy tidak dimakannya, meskipun sebelumnya Shakila menyukainya.

"Sha," Andhy menghampirinya yang sedang duduk sambil termenung di balkon apartemen. Laki-laki itu bersimpuh di sampingnya, menggengam tangannya dengan senyum sendu sembari mengelusnya pelan. "Ayo masuk,"

Shakila menghela nafas panjang. Enggan merespon ajakan Andhy. Tangan kanan Andhy berpindah pada wajahnya, mengelus sepelan mungkin. Shakila menoleh, menatap tajam padanya.

"Sha, aku boleh mengatakan sesuatu?" Andhy menatapnya harap. Shakila tetap saja menunjukkan ekspresi yang sama. "Aku sudah memutuskan." Andhy menundukkan kepala. Menahan nafas beberapa saat dan kemudian mengembuskan secara kasar. Lalu mengangkat kepala, memandang Shakila yang masih menatapnya. Kedua tangannya telah berpindah menggengam tangan Shakila. "Aku merasa tidak berguna selama ini. Terutama tiga minggu ini. Kamu belum sepenuhnya mau dengan apa yang kuminta. Bukan aku yang kasihan padamu. Tetapi kamu. Kamu yang kasihan padaku sehingga meskipun hati kamu tidak ingin datang lagi ke tempat ini tetapi kamu tetap datang." Andhy memberi jeda. Menggenggam tangan Shakila semakin erat. Meluruh pada lantai dan menumpukan kepalanya pada pangkuan Shakila yang sedang duduk di kursi.

"Aku tidak ingin membuatmu semakin membenciku, Sha. Begitupun dengan bayinya, aku tidak ingin dia semakin membenciku. Lebih baik dia tidak mengenalku sama sekali." Kembali Andhy menjeda. "Lebih baik kita akhiri saja kesepakatan ini." Kata Andhy semakin memelan. Tidak sanggup menyeruakannya, namun melihat keadaan Shakila. Dia tidak tega menahan gadis itu lebih lama lagi. Sama saja ketika dirinya mengurung Shakila. "Jika pun kita tetap seperti ini. Aku berusaha tetapi kamu tidak mau merespon. Tidak akan hasil. Kita sama-sama terluka, tetapi jika hanya aku yang mengobati tanpa kamu mau berobat juga. Tetap saja akan sia-sia. Kita akan semakin tersakiti."

"Jika menurut kamu lebih baik kita tidak saling mengenal lagi. Aku akan menyanggupinya. Besok aku mengantarmu pulang." Kedua mata Andhy berkaca-kaca di atas pangkuan Shakila. "Maafkan aku yang selalu menorehkan luka padamu." Tetap saja Shakila tidak bereaksi. "Aku tidak menuntut kamu memaafkanku. Aku terima apapun yang kamu inginkan. Karena semuanya adalah salahku."

Air mata Andhy meluruh begitu saja. Badannya semakin lemas seperti terhimpit beban berat dan besar. Seolah dia hanya benda kecil yang rapuh. Sangat berbeda dengan Andhy yang selama ini dikenal oleh Shakila.

Selama dua hari tiga malam Andhy memikirkannya. Badannya semakin mengurus karena kekurangan istirahat. Dia tidak bisa memejamkan mata, pikirannya menyalang tanpa tentu arah. Menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Shakila hingga membuatnya sulit bernafas.

Andhy terdiam setelah beberapa saat kemudian berlalu hanya dengan keheningan. Merasakan pergerakan tangan di atas kepalanya. Secara perlahan, Andhy mengangkat kepalanya. Menatap wajah Shakila di atasnya.

"Sha...?"

Shakila mengerjap. Menghentikan usapannya di kepala Andhy.

Andhy mengerjap, mencoba menyadarkan dirinya dengan apa yang dilakukan Shakila barusan. "Sha, kamu... besok aku mengantarmu pulang..." ucapnya frustasi. Mendengar Andhy mengatakan akan mengantarnya pulang, Shakila langsung merespon. Hati laki-laki itu semakin nyeri dan merasa tidak pantas menunjukkan wajahnya di depan Shakila lagi.

Tetapi Shakila menggeleng pelan, lalu mengerjap beberapa kali. "Kamu...?" Shakila mengangguk lemah. "Kamu...," Kembali Shakila mengangguk. Tetapi Andhy masih tidak percaya dengan apa yang terjadi sehingga dia ingin memastikannya lebih jelas. "Kamu... ingin tinggal di sini?"

"Yah," Shakila menyeruakan maksudnya. Sehingga Andhy menggeleng tidak percaya.

"Sha..., kamu..., kamu tidak menyesal?" Shakila mengangguk. "Kamu mau kita saling mengobati luka..."

"Yah, aku mau." Jawab Shakila serak.

Andhy tidak bisa berkata lagi. Dia menumpukan lututnya pada lantai sehingga tinggi mereka sejajar dengan Shakila yang duduk di kursi lalu memeluk Shakila erat. "Terima kasih, Sha. Terima kasih." Ucapnya setulus hati. "Aku berjanji hanya sampai kamu melahirkan saja. Setelah itu aku akan pergi."

Shakila mengangguk di leher Andhy. Air matanya juga meluruh begitu saja. Lagi-lagi hatinya tidak bisa egois meskipun telah banyak luka yang diberikan Andhy padanya. Membuatnya nyaris gila karena perbuatannya.

Shakila melihat kesungguhan selama dua minggu ini dalam diri Andhy. Lelaki itu begitu sabar menghadapinya yang selalu berubah-ubah setiap saat. Tidak pernah memarahi atau memakinya. Tetapi sebaliknya, meskipun hatinya sangat hancur. Namun Andhy tetap menunjukkan senyum tulus dan pandangan sendu padanya.

Mengurusi semua keperluannya. Hingga melupakan dirinya sendiri.

***

Andhy menggenggam tangan Shakila. Menoleh lalu tersenyum sendu. Mereka berada di depan rumah sakit. Mengunjungi dokter pskiater untuk menyembuhkan Shakila. Gadis itu membalas senyumnya dengan senyuman tipis. Rasa senang membuncah dalam tubuh Andhy, Shakila merespon sedikit saja membuatnya semakin bersemangat.

"Ayo," Shakila menurut. Mereka berjalan di lorong-lorong rumah sakit. Genggaman tangan Shakila semakin mengerat, Andhy menoleh dan mengatakan tidak apa-apa melalui tatapannya. Dia akan selalu ada untuk Shakila. Selalu berada di samping gadis tersebut.

Ketika mereka berada dalam ruangan dokter. Shakila semakin mengeratkan tangannya pada Andhy. Meminta laki-laki itu tetap di sampingnya. Shakila tidak mau hanya mereka berdua saja di ruangan tersebut seperti pasien lainnya.

Andhy menumpukan tangannya yang lain pada punggung Katia. Menggenggamnya erat serta memberikan senyum hangat. Shakila menghela nafas lega, dia pun kembali menatap dokter di depannya. Perasaannya tidak setakut sebelumnya. Shakila merasa lebih ringan dan santai setelah pengakuan Andhy kemarin sore.

"Mari kita berpindah tempat." Andhy membantunya berdiri, mengiringnya ke bangkar dan membantunya naik. Menyetel sehingga Shakila setengan berbaring. Pandangan Shakila berfokus pada Andhy, lagi-lagi dia mendapatkan senyum hangat darinya. Mereka terus saling menggenggam tangan. Sama-sama enggan melepas satu dengan lainnya. Tekad kuat yang mereka miliki menekankan rasa benci yang sebelumnya menutupi hati Shakila. Seakan laki-laki tersebut tidak pernah menyakitinya sedalam itu.

"Baiklah. Mari kita mulai." Shakila menahan nafas. Mempersiapkan diri untuk memulai terapi. "Siap?" Shakila mengangguk. "Oke, bagaimana perasaanmu hari ini?" Tanyanya memulai.

"Sedikit lebih baik." Jawab Shakila memejamkan mata. Dokter tersebut tersenyum, dia memang menyuruh Shakila memejamkan mata selama proses terapi agar Shakila merasa lebih rileks. Mmebayangkan jika dirinya berada di tempat yang di inginkan.

"Sepertinya ini kabar baik. Kamu merasa lebih baik dari sebelumnya." Ucapnya senang. "Kamu harus terus mempertahankannya. Meningkatkan sedikit demi sedikit agar menjadi terbiasa" Shakila mengangguk.

Lalu sang dokter memberikan pertanyaan lain yang ringan dan tidak menyulitkan Shakila untuk menjawab. Sepertinya Shakila benar, dia merasa lebih baik dari sebelumnya. Perkembangannya lumayan pesat dari kunjungan terakhir. Shakila sama sekali tidak berbicara. Bahkan menggunakan bahasa tubuh pun tidak. Sehingga mereka kembali dengan sia-sia.




TBC


Sha udah mulai nerima Andhy -_-


Selasa, 11 Oktober 2016

Broken Romance [TBS #1] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang