1 Oktober 2033.
Sudah awal November dan kami telah melalui 9 match. Periode 1 Eerste Divisie telah habis. MVV berada di peringkat pertama dan mendapat 1 tiker play-off, sementara itu kami berada di posisi sepuluh setelah mendapat jumlah kekalahan, seri, dan kemenangan yang sama, yaitu tiga.
Kemarin kami mengalahkan RKC yang menjadi salah satu lawan kuat dengan skor 1-0. Bek kami, Boy Zimmerman membuat gol itu setelah tandukannya gagal dihalau kiper lawan. Saat kami menghadapi Roda JC, kami kalah dengan skor 1-2. Aku membuat gol tunggal saat itu.
Sebelum menghadapi Roda JC, kami mengawali KNVB Beker dengan menaklukan SV Huizen dari Derde Divisie dengan skor 3-0. Kami melaju ke babak 2.
Edwin van den Dungen dari MVV berada di posisi pertama dalam perebutan topskorer dengan koleksi tujuh gol. Luis Mendes dari Roda JC dan Paul Oosting di posisi kedua dengan lima gol. Sementara aku tidak masuk 5 besar topskorer dan hanya baru membuat 3 gol.
Pagi ini aku dan Patrick lari pagi di sekitar Kras Stadion. Kemudian kami berputar di sebuah taman kecil dekat Bank ABN AMRO dan berhenti di taman dekatnya. Beberapa anak kecil bermain perosotan dan kuda-kudaan didampingi orangtuanya. Jiwa mereka polos, memainkan apa yang mereka suka dan apa yang mereka pikirkan saat itu juga. Seandainya bermain di klub profesional bisa seenteng itu, pastinya sepakbola tidak sesukar dan sekompleks yang sebenarnya.
Kami melanjutkan langkah kami ke bundaran yang membelah jalan menjadi empat. Di salah satu sisi jalan ada sebuah restaurant yang bertuliskan AMVO De Gastheer van Volendam. Kami memasuki restaurant itu karena perutku sudah tidak bisa diajak bicara lagi kecuali aku memberinya makan segera.
Seorang pelayan mendatangiku. Aku memesan lekkerbekje sementara Patrick memilih Visfriet. Saat kami tengah hanyut dalam diam, memerhatikan beberapa remaja cekikikan di atas sepedanya di seberang jalan, tiba-tiba suara seseorang memecah lamunan kami. Sumber suara itu berjalan mendekati kami. Seorang laki-laki seumuranku, berambut pirang sebahu, dan mata birunya mengamati kami. Dia menghampiri kemudian duduk di dekat meja yang sama dengan kami.
"Pat?" ucapnya.
Kemudian Patrick balas menyapanya. Mereka bertegur sapa dan berbicara seperti kawan lama yang tak bersua dalam suatu waktu. Aku tidak begitu mengerti apa yang mereka obrolkan. Bahasa Belanda masih asing di telingaku dan aku masih dalam masa kursus Bahasa Belanda.
"Adam, ini Jayden Rossen. Dan, Jayden, ini Adam Altarian, pemain baru di Volendam," Patrick berbicara menggunakan Bahasa Inggris agar kami bisa berkomunikasi.
Aku berjabat tangan dengan Jayden. "Tidak buruk," ucapnya.
"Apanya?" tanyaku.
"Permainanmu. Aku mengikuti pertandingan Volendam dan aku melihat golmu. Bukan permainan buruk mengingat ini tahun pertamamu. Tetapi jika kau berniat menjadi topskorer dan membawa Volendam promosi ke Eredivisie, kemampuanmu belum cukup. Masih jauh."
"Terimakasih. Tetapi kami pasti akan promosi musim depan."
Jayden terkekeh. "Musim lalu aku menjadi pencetak gol terbanyak di liga. 28 gol. Tetapi itu belum cukup untuk membawa kami promosi. Kami tersingkir di babak play-off."
"Kau mantan pemain Volendam?" tanyaku.
Jayden tidak menjawab. Dia menyantap makanannya. Tak lama kemudian pesanan kami tiba.
"Volendam adalah tempat di mana awal aku bermain bola. Tetapi aku butuh tantangan. Aku pindah ke klub yang berkompetisi di Eredivisie. Yah, klub-klub raksasa seperti SC Heerenveen, Ajax, dan PSV sempat mengajakku bergabung. Tetapi aku lebih memilih Vitesse sebagai tempat bermain berikutnya," seru Jayden sambil mengunyah makanannya.
"Sepertinya kamu tidak memiliki awal yang bagus di sana" imbuh Patrick.
Jayden meletakkan sendoknya, kemudian meneguk minuman dingin yang mulai membentuk embun di gelasnya. "Ah, aku sedikit kesal jika membicarakan klub. Manajer kami itu keras kepala. Tidak terlalu percaya kepada pemain muda. Aku baru turun empat kali di lapangan. Dan setiap aku tidak bermain, kami kalah. Posisi klub tidak begitu bagus saat ini. Jika aku masih menemukan dia di lapangan latihan musim depan, aku akan menghajar bokongnya. Kuharap rumor pemecatan dia itu benar."
Patrick tertawa. Jayden keheranan melihatnya. "Kenapa kau tertawa?"
"Kau tidak berubah. Masih saja mengandalkan kekerasan," timpal Patrick.
"Jika bukan teman ataupun keluarga, aku tidak segan menghajar siapa pun."
"Bicara soal promosi, aku tahu itu sulit. Tetapi musim ini kami kedatangan beberapa youngster berbakat," ucap Patrick.
Jayden menyetujui, "Ya, ya, aku paham. Duo France itu boleh juga. Terutama beknya. Aku suka ekspresi anak itu. Ivo van Well juga tidak buruk, kami pernah bermain bersama di Timnas junior. Dan tentu saja kau... siapa namamu tadi?"
"Adam," tukasku cepat.
"Ya, Adam. Kelemahanmu adalah terlalu lama mengambil keputusan. Mungkin masalah kepercayaan diri. Kalau kau yakin, maju saja. Kalau kau ingin gol, tembak saja bolanya. Kau tidak perlu takut gagal. Kekuatanmu ada pada tendangan. Dribblingmu juga tidak buruk. Penempatan posisi juga sudah lumayan. Kau bisa menjadi striker komplit jika kau percaya dengan kemampuanmu."
"Aku ambil itu sebagai nasihat."
"Aku tidak menasihatimu. Aku bukan pelatihmu."
Jayden bangkit dari duduknya. "Aku harus pergi, Pat. Ada sedikit urusan dengan kakakku sebelum aku kembali ke Arnhem."
"Oke, sampai ketemu lagi, Jay."
"Aku tunggu di Eredivisie."
"Pasti."
Laki-laki itu berjalan keluar pintu, kemudian tenggelam di persimpangan.
"Dia adalah orang yang kuceritakan ketika awal kita bertemu dulu. Anak gila yang berkelahi di Jerman sehingga membuat dirinya tidak diturunkan di pertandingan. Tetapi di balik kegilaannya itu, dia punya skill yang tidak kalah gila juga," ujar Patrick.
Orang itu benar-benar hebat. Hebat dan gila. Jika dia bermain di Piala Dunia u-20 lalu, pasti Belanda akan tampil lebih baik. Mendengar ceritanya saja aku yakin dia memang bukan orang biasa
Patrick berbicara kembali. "Kuharap kamu mengerti sifat orang itu. Dia itu yatim-piatu sejak kecil. Dibesarkan oleh pamannya yang bukan berasal dari keluarga kaya. Dia terbiasa dengan kehidupan yang keras. Satu-satunya yang dia cintai adalah kakak perempuannya. Dia bermain sepakbola demi kakaknya, agar sang kakak tidak perlu bekerja lagi."
"Aku bisa mengerti dari mana sifat penuh percaya dirinya itu. Dia sepertinya terbiasa berada di bawah tekanan."
"Ya. Itulah yang membuat dia disukai orang-orang di klub."
Pertemuanku dengan Jayden benar-benar meninggalkan bara yang menempel di dadaku. Melihat seorang pemain yang dulu berada di situasi yang sama denganku dan kini telah bermain di tingkat yang lebih tinggi, membuat aku yakin bahwa apa yang aku lakukan saat ini masih belum cukup untuk menunjukkan bahwa aku pantas menaiki jenjang yang lebih tinggi.
Suatu saat aku akan berada di lapangan yang sama dengan orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderkids
FantasyMenceritakan perjalanan karir sepakbola pemain muda Indonesia yang terlahir dalam generasi emas Indonesia. Skuad U-20 Indonesia di tahun 2033 berhasil melaju ke quarterfinal U-20 World Cup, yang merupakan pencapaian tertinggi selama sejarah sepakbol...