Book 1 - Goal 35: Ibu dan Sepak Bola

166 6 4
                                    

Setelah berakhirnya break kompetisi selama sebulan, klub-klub di Eredivisie kembali menjalani minggu-minggu padat. Para pemain FC Volendam tengah berada Zwolle. Tadi sore mereka menghadapi PEC Zwolle. Pertandingan tandang itu berbuah kemenangan bagi Adam cs dengan skor 2-0. Adam dan Vesel mencatat nama mereka di papan skor. Volendam bertengger di posisi lima klasemen sementara.

Malam ini waktu bebas bagi para pemain. Beberapa ada yang beristirahat di hotel, beberapa lainnya mencari udara segar ke luar. Adam dan Ivo berdua sedang menikmati jajanan pinggir jalan. Saat menikmati kudapan, tatapan mereka bertaut pada satu sosok yang tak jauh dari posisi mereka duduk. Seorang laki-laki sedang meneguk minuman yang baru dia ambil dari vending machine.

"Hoi, Pascal Herder, kan?" sapa Ivo.

Pascal menoleh dan memusatkan perhatiannya pada sosok yang memanggil namanya. Dia tersenyum mengiyakan pertanyaan Ivo.

 Dia tersenyum mengiyakan pertanyaan Ivo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa kabar?" timpal Ivo lagi.

Pascal berjalan menghampiri dua orang itu. "Kabar baik," ucapnya seraya menyalami orang-orang di hadapannya.

"Aku nonton pertandingan kalian tadi sore," katanya. Dia ikut duduk di kursi yang di tengahnya terdapat meja bundar.

"Teman kita satu ini mencetak gol lagi. Tampaknya akan menjadi saingan beratnya Jayden dalam perebutan gelar topskorer," kata Ivo menepuk pundak Adam.

"Kau berlebihan, Ivo," ujar Adam tersenyum malu.

"Bukan hanya kau dan Jayden. Aku juga mengincar posisi pertama dalam pencetak gol terbanyak musim ini," Pascal menimpali dengan percaya diri.

Ivo tersenyum bersemangat. "Benar. Kau juga striker andalan Ajax, dan pastinya selain menjadi kandidat juara, kau juga berpotensi menjadi pencetak gol terbanyak."

Suasana sunyi sejenak sebelum Adam meletakkan minuman yang baru dia teguk ke atas meja. "Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini, Pascal? Bukankah Ajax sedang bertanding melawan Almere?"

"Oh, aku belum terlalu fit sehabis mengalami cedera ringan di pertandingan tur beberapa waktu lalu. Jadi aku mengambil waktu istirahat dan mengunjungi ibuku di sini."

"Hoo. Kau ternyata berasal dari Zwolle ya," seru Ivo.

"Begitulah. Ya, lagian tanpa aku pun, Ajax bisa menang tanpa bersusah payah."

"Tapi kau harus menghadapi kami minggu depan jika tidak ingin seperti pertemuan sebelumnya yang mana Ajax hanya bisa mencuri 1 poin di pertandingan itu."

"Ah sialnya, sebelum bertanding melawan kalian aku cedera ringan di Liga Champions. Kali ini aku tidak akan masuk di menit-menit akhir. Aku akan bermain full dan meladeni kalian dengan maksimal."

"Itulah yang kami tunggu, Pascal," ujar Adam.

Setelah bercakap beberapa lama, Pascal pamit karena harus mengantar makanan yang dibelinya untuk sang ibu.

"Sepertinya aku hanya bisa menemani kalian sampai sini. Aku harus pulang sekarang."

"Baik. Sampai bertemu minggu depan." Adam menyalami Pascal sambil tersenyum.

Adam membalas senyum itu dengan kehangatan yang menggurat dibibirnya.

Walaupun Volendam masih dipandang sebelah mata, bukan termasuk jajaran top tim yang akan menjuarai liga tahun ini, Pascal bisa melihat sosok-sosok pemain muda seperti dirinya yang mengincar level dunia di masa depan.

Pascal tidak ingin berlama-lama berada di levelnya saat ini. Dia bermain bola demi ibunya. Sejak kecil, sebelum orangtuanya bercerai, ibu adalah sosok yang mengenalkannya pada sepak bola. Ibunya sangat menyukai sepak bola, karena itu pula dia mulai mencintai sepak bola. Namun sejak Ayah meninggalkannya, keluarga mereka mulai diluputi masalah. Dia dan ibunya terjerat utang dan kemiskinan semakin menyiksa. Pascal yang baru berumur 16 tahun semakin termotivasi mencapai level yang lebih tinggi. Dia mengawali kariernya di tim amatir lokal. Uang yang didapat dia gunakan untuk melunasi utang-utang keluarganya.

Titik terang itu belum cukup untuk menghentikan cobaan yang bertubi. Ibunya jatuh sakit. Kian hari tubuhnya semakin melemah. Kondisi kejiwaannya memburuk. Pascal bersedih dan pada suatu titik hampir menyerah. Kabar baik menghampirinya saat Ajax mengundangnya menjalani trial. Pada pertandingan u-19, Ajax menghadapi Volendam. Di sana Pascal bertemu dengan Jayden Rossen. Walaupun pertandingan itu dimenangkan Ajax dengan skor 6-3, bagi Pascal hari itu merupakan hari kekalahannya dari Jayden. Striker timnas muda asal Volendam itu mencetak hat-trick, sedangkan Pascal gagal menyarangkan satu gol pun ke gawang Volendam.

"Kalau usahamu cuma segini, umurmu di klub sebesar ini tidak akan lama. Kau akan dibuang dan tidak akan mencapai levelku. Sayang sekali, padahal aku menantikan saingan sebagai calon striker terbaik di dunia."

Tatapan Jayden yang penuh tantangan itu tidak akan pernah Pascal lupakan. Semenjak pertemuan itu, dia berlatih lebih keras. Dia mendapatkan kontrak di Ajax pada usia 17 tahun. Dia menunjukkan progres yang signifikan di musim pertamanya di tim U-19 dan reserve. Musim berikutnya Pascal dipromosikan ke Ajax senior dan perlahan menjelma menjadi striker andalan Ajax. Pascal dan Jayden diprediksi akan menjadi duo lini depan yang akan membawa Belanda ke masa keemasan.

Semenjak di Ajax, kondisi ekonomi keluarga Pascal membaik. Ibunya mendapat perawatan terbaik dan kini kondisi kesehatannya sudah membaik. Dia tidak membawa ibunya bersamanya ke Amsterdam karena Pascal bercita-cita bermain di liga yang lebih tinggi di luar Belanda dan akan lebih baik jika ibunya tetap di kampung halaman bersama paman dan bibinya. Pascal menyokong keuangan saudara ibunya dengan imbalan mereka harus merawat Ibu selama Pascal tidak di Zwolle.

Pekan depan akan menjadi pertandingan yang berat, tetapi Pascal menantikan pertemuan itu. Volendam adalah kuda hitam yang menunjukkan kekuatannya. Merangsek ke posisi 5 besar dan menjadi penantang bagi para klub pengincar tempat di kompetisi Eropa.

Pascal membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Ibu yang duduk di sofa dengan mata yang semula menatap ke layar televisi, memberikan senyum hangat kepada Pascal. Paman dan bibinya menggenggam erat tangan ibunya. Dua orang itu menghela napas lega melihat kepulangan Pascal.

"Pascal..." Ibu memanggil dengan suaranya yang lirih.

Pascal mengangguk meminta kedua orang di sebelah ibunya melepaskan tangan mereka dari pergelangan wanita berumur tiga puluhan akhir itu.

"Aku di sini Ibu. Ibu tidak perlu khawatir." Pascal memeluk ibunya.

Ibunya mengalami gangguan jiwa semenjak ditinggal Ayah. Walaupun kondisi kejiwaannya perlahan membaik, namun terkadang gangguan itu kambuh dan Ibu meronta dan berteriak mengutuk mantan suaminya. Syok dan kondisi ekonomi yang memburuk di masa lalu membuat Ibu terpuruk dan itu membuat Pascal tidak bisa memaafkan ayahnya.

Pascal ingin menunjukkan sepak bolanya sebagai obat penyembuh bagi sang Ibu. Dengan bermain sepak bola, dia memanjatkan doa untuk kesembuhan wanita itu. Sepak bola adalah cara Pascal untuk tetap hidup.



Catatan: setelah melewati 30-an chapter, saya mulai menyadari Wonderkid terlalu monoton dengan penceritaan di dalam lapangan. Untuk itu saya mulai menambah bumbu dalam cerita dengan mengisahkan para tokohnya di luar lapangan.

WonderkidsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang